Semakin Punahnya Pertanian Organik Tradisi Kalimantan
Catatan Refleksi Pengembaraan (April – Mei 2021) memahami Sistem Pangan Lokal
Komunitas Petani Kabupaten Melawi dan Kapuas Hulu bersama WWF Indonesia Kalimantan Barat
Oleh : Rasdi Wangsa
Tentang Pengembaraan
Hari itu di awal bulan
Maret 2021, saat itu situasi kota Bogor dan beberapa kota lain di Indonesia masih
dalam situasi pandemi covid 19. Dapat
khabar baik dari kawan-kawan WWF Kalimantan Barat melalui sebuah pesan whatsapp
untuk ajakan mengembara lagi ke kampung-kampung di Kabupaten Melawi dan Kapuas
Hulu untuk belajar bersama dengan petani-petani disana. Membahas tentang Sistem
Penjaminan Mutu Beras Kampung dalam membangun Sistem Pangan Lokal dalam
menghadapi Sistem Pangan Global.
Perjalanan kali
ini adalah pengembaraan yang entah ke
berapa kalinya, setelah pertama kali menginjakkan kaki di bumi Kalimantan Barat sekitar tahun 2000. Pengembaraan seperti ini selalu
memacu hormone andrelin untuk
mengerahkan seluruh kemampuan, pengetahuan dan pengalaman untuk bagaimana
membangun komunikasi dalam belajar bersama para petani. Gap bahasa dan pengetahuan tentang social
budaya setempat serta ruang pikir komunitas dengan pengetahuan dan pengalaman
serta mimpi mereka tentang bagaimana seharusnya masa depan mereka, menjadi tantangan yang sangat besar dan berat pada setiap pengembaraan seperti ini. Selalu ada tanya dalam diri, sejauh mana manfaat pengembaraan ini untuk para petani-petani
tersebut.
Dan selalu terutama
ketika kita akan mengajak petani untuk bersama-sama melihat kondisi saat ini
dan kemana mereka akan melangkah ke depan untuk mengatasi berbagai persoalan
kehidupan terkini. Terutama di tingkat
kampung yang sesungguhnya pada hari-hari ini, situasi mereka tidak terelakkan lagi
dan sedang berhadapan dengan
perkembangan dan kemajuan pembangunan yang ada. Masuknya Industri perkebunan
kelapa sawit dan hutan tanaman industri yang lapar lahan yang sesungguhnya
adalah keberlanjutan dari industry kehutanan dan pertanian di masa jaya hak
pengelolaan hutan (HpH) dan perkebunan karet skala besar. Dan saat ini juga tengah gencar-gencarnya
dorongan program food estate yang sesungguhnya kesemuanya itu menjadi ancaman
bagi kemandirian dan kedaulatan pangan bagi komunitas lokal tersebut.
Secara sepintas
dari satu sisi, program dan proyek tersebut memperlihatkan kemajuan-kemajuan
pembangunan fisik seperti jalan, jembatan dan teknologi informasi yang
bermanfaat bagi komunitas lokal tetapi
dibalik itu menyimpan ancaman penguasaan asset-aset ekonomi komunitas dibawah
kendali penguasa dan pengusaha yang berkedok pembangunan negeri. Siapa yang diuntungkan? Atau paling tidak, bisa secara optimal memanfaatkan kemajuan
fisik tersebut? Hanyalah mereka-mereka yang memiliki dan menguasai pengetahuan
dan ketrampian atas teknologi informasilah yang dapat memaksimalkan fungsi
tersebut, sementara komunitas lokal dengan keterbatasan akan pengetahuan dan
pengalaman atas itu, terlonggo-longgo, sambil kagum dan juga binggung, dibiarkan
berjuang sendiri untuk bertarung dengan para penguasa teknologi informasi
tersebut. Tanpa adanya kebijakan,
regulasi dan program khusus untuk memampukan komunitas lokal dalam menghadapi
situasi ini. Siapa yang memiliki
kendaraan yang dapat secara maksimal mulusnya fasilitas jalan-jalan dan
jembatan-jembatan tersebut? Siapa yang
memiliki perangkat dan system informasi teknologi yang dapat memaksimalkan
pengunaan hand phone, computer dan internet di jaman 4.0 ini ? Kesemuanya itu merupakan perpaduan penguasaan
hajat hidup komunitas lokal oleh komunitas bisnis nasional dan global. Siapa yang penikmat akhir dan meraup
keuntungan besar atas kemajuan pembangunan fisik di Kalimantan ?
Dan ketika kita
bicara tentang Pembangunan Pertanian. Ada ungkapan yang pada beberapa waktu dan
pada beberapa kesempatan sering terdengar. “Pertanian tradisi atau mungkin
lebih tepatnya pertanian yang berbasis budaya setempat itu adalah sebuah
utopia. Itu hanya masa lalu yang sudah tidak penting lagi untuk dibahas di
jaman digitalisasi pertanian saat ini”. Kenapa, karena sesungguhnya saat ini
pertanian itu adalah Pertanian berbasis bisnis yang sarat dengan Teknologi
informasi dan Pengetahuan terkini. Dan
siapakah pemilik bisnis-bisnis pertanian itu ?
Bisnis yang dimiliki dan pemegang
modal serta pengendali dari para pelaku di rantai nilai ekonomi pada bisnis
itu. Pertanian dikelolah dan diarahkan
dengan satu paradigma bagaimana memberikan nilai tambah ekonomi dalam tata
nilai komoditas pertanian tersebut. Dan bermuara pada siapa sebenarnya yang
hendak dilayani dalam bisnis pertanian tersebut. Aspek lain seperti kelestarian lingkungan,
hak azasi manusia dan keadilan hanyalah pelengkap kampanye yang akan dipenuhi
jika ada permintaan dan bahkan harus dengan paksaaan dan tekanan dari pihak
lain diluar rantai nilai komoditas pertanian tersebut. Itupun tidak akan bermakna apa-apa karena
para pemilik modal dan oligarki bisnis dan politik telah memiliki kekuasaan
yang sangat besar untuk mengatur hukum, pelaksana negara dan kaum cendikiawan
yang memberikan argumentasi “ilmiah” atas itu.
Ditengah
pergumulan-pergumulan itulah perjalanan pengembaraan ini terus dilakukan. Mencari kalimat dan paragraph serta diksi-diksi
yang tepat, baik dan benar untuk memperjelas
agar tidak menimbulkan antipati seolah-olah ada nuansa kebencian dan
kecemburuan atas keberuntungan kelompok atau individu tertentu di negeri ini. Atau
seringkali berupaya untuk mendapatkan stigma atau cap anti pembangunan menjadi
alat efektif dari oligarki kekuasaan politik dan modal untuk membukam
gerakan-gerakan kritis yang tidak banyak lagi bersuara di negeri ini. Membangun kapasitas keterampilan komunikasi
yang baik masih jadi pekerjaan rumah penting, terutama bagi penulis pribadi.
Dan sepertinya
memang bukanlah hal yang mudah. Meskipun terkadang terlintas di kepala, “
biarlah. Yang penting kita berangkat
dengan niat baik dan tidak mengunakan cara-cara kekerasan. Karena cara-cara kekerasan bukanlah
solusi. Hanya melahirkan kekerasan baru
yang tak pernah berujung. Begitu banyak
peristiwa kekerasan yang terjadi di berbagai daerah dan kampung-kampung di
Indonesia dan bahkan di dunia. Begitu
banyak korban-korban yang tersingkir. Pemenangnya adalah sekali lagi mereka
yang menguasai bisnis di suatu negeri. Para
aktifis social dan lingkungan hanyalah serpihan-serpihan harus terkapar dengan
realitas begitu kuatnya kekuatan bisnis dengan modal dan uang yang bisa
mempengaruhi nurani siapapun.
Figure 1
Artefak Ladang Tradisi Tersisa di Kabupaten Melawi. Pengambilan foto 07 April
2021
Pangan Lokal di Kalimantan Barat; Melawi dan Kapuas Hulu
Kata referensi, ketahanan
Pangan itu, menyangkut; produksi, distribusi dan akses atas pangan tersebut. Dari
aspek produksi, untuk Kabupaten Melawi dan Kapuas Hulu, dua kabupaten di Propinsi Kalimantan Barat,
dilihat dari aspek produksi pangan terutama jika padi atau beras menjadi
ukurannya, menurut Kadis Pertanian Tanaman Pangan Kalbar (2020), “terdapat 6 wilayah dari 14 kabupaten di
Kalbar yang masih minus beras. Wilayah tersebut di antaranya Kabupaten
Bengkayang, Sintang, Kapuas Hulu, Melawi, Kota Singkawang dan Kota Pontianak”. Dan hal ini diakui oleh petani-petani di 9
kampung di Melawi dan Kapuas Hulu bahwa produksi padi mereka masih belum
memadai hanya bisa bertani untuk kebutuhan sendiri bahkan seringkali belum
mencukupi untuk makan setahun. Situasi ini diperparah lagi dengan saat ini
makin gencarnya pemerintah dan berbagai lembaga nasional maupun yang peduli
lingkungan menyuarakan dampak perladangan padi sebagai sumber utama penyebab
kebakaran hutan dan perubahan iklim.
Kondisi petani tradisi ini semakin tertekan lagi dengan adanya
penangkapan oleh aparat kepolisian terhadap petani-petani yang membuka ladang
dengan cara membakar. Ketika petani bertanya bagaimana caranya kami bisa
berladang dengan tanpa membakar ladang? Tidak ada yang bisa menjawab dan memberikan
solusi yang pasti. Jawabannya pokoknya berhenti berladang dengan cara
tradisional tersebut, karena menganggu hutan dan lingkungan termasuk asapnya
mencemari udara dunia. Sungguh tragis nasib petani-petani tradisi kita.
Sesungguhnya ketahanan pangan “tanpa
kedaulatan pangan” di tingkat kampung-kampung
Melawi dan Kapuas Hulu telah dapat teratasi. Hal ini terbantukan dengan semakin membaiknya proses dan pola distribusi serta
akses atas beras tersebut. Sarana dan
prasarana transportasi jalan dan jembatan untuk distribusi pangan sudah semakin
memadai sehingga pasokan pangan bisa tercukupi dari daerah lain. Kecuali untuk
beberapa kampung yang masih terpencil dan terisolasi, ketahanan pangan mereka
sangat tergantung dari pertanian tradisi atas ladangnya. Dan pada sisi kedaulatan pangan sesungguhnya
komunitas-komunitas ini lebih berkedaulatan pangan karena pangan mereka
tercukupi dari pertanian tradisi yang mereka jalankan. Contoh yang paling
popular adalah pertanian tradisi Badui di Jawa Barat. Untuk Kalimantan mungkin
hanya tersisa di kampung-kampung di dataran tinggi Krayan-Kalimantan Utara
masih memiliki kedaulatan pangan seperti Badui tersebut.
Dalam situasi globalisasi saat
ini, dimana pengetahuan dan teknologi terkini yang pada satu sisi telah banyak memberikan kemudahan bagi semua
orang untuk berproduksi, mendistribusikan dan mengakses pangan tersebut. Namun di
sisi yang lain, miris bagi komunitas local yang bermukim di desa-desa/kampung-kampung,
dengan realitasnya yang masih tergagap dengan kemajuan pengetahuan dan
teknologi, Minimnya pengetahuan dan fasilitas teknologi di kampung-kampung
tersebut. Hal ini menjadi kendala utama
bagi komunitas kampung untuk dapat membangun system ketahanan pangan mereka. Dan
itu berimbas pada hancurnya kedaulatan pangan yang pernah ada disana. Paling tidak, realitas itu yang terlihat dari 9 kampung di
Melawi dan Kapuas hulu yang kami datangi.
Sistem ketahanan dan kedaulatan
pangan dari 9 Desa Kabupaten Melawi dan Kapuas Hulu; 1). Desa Nanga Ella Hilir,
2). Belaban Ella , 3). Batu Nanta dan 4). desa Poring (Melawi) dan 5). desa
Batu Lintang 6). Dusun Sei Utik Desa Menua Sadap Dusun Kelayam di kecamatan
Embaloh Hulu, 7). Desa Tanjung Kecamatan Mentebah, 8). Desa Lubuk Antuk dan 9).
Desa Mentawit di kecamatan Hulu Gurung (Kapuas Hulu) telah mengalami kehancuran
atau tidak memiliki kekuatan dan keberdayaan lagi. Artefak-artefak pertanian tradisi, seperti
lumbung padi dan gabah varieatas lokal yang mencerminkan keberdayaan itu hanya
tinggal beberapa gelintir yang tersisa. Meskipun di sisi yang lain masih memiliki potensi besar dalam pengembangan
varietas beras local (Beras Kampung) yang tersisa, dan masih ditanam oleh sebagian kecil petani di
desa-desa tersebut.
Figure 2
Lumbung Pangan Tersisa di Desa Poring Kabupaten Melawi. Foto diambil tgl 13
April 2021
Budidaya Padi yang masih
dilakukan oleh sebagian besar petani
dan masih berbasis pada tradisi atau adat
istiadat setempat, yakni berupa ladang rotasi telah mengalami degradasi
kualitas maupun kwantitas yang dipengaruhi berbagai hal, diantaranya semakin hilangnya
keyakinan petani atas kearifan tradisi yang mereka miliki akibat intervensi
pengetahuan dan informasi baru, regulasi dan kebijakan pemerintah yang belum
berpihak serta lemahnya keberterimaan mutu produk di konsumen organik atas
produk beras kampung oleh karena terutama masih maraknya penggunaan herbisida dalam
mengendalikan gulma di ladang-ladang tersebut.
Pun begitu, dari perbincangan
selama pengembaraan ini, masih tersirat asa
yang besar dari para petani tradisi akan
keinginan dan kebutuhan yang kuat dan besar untuk memperbaiki system mutu produk
dan produksi pangan mereka dalam menghadapi tantangan system pangan global yang
cenderung tidak adil dan mematikan kemandirian yang dimiliki. Cerita tentang tantangan akan adanya kebutuhan
pangan terutama untuk kebutuhan masyarakat desa setempat yang semakin meningkat
dan masuknya produk pangan dari pulau lain di Indonesia yang telah sampai ke
kampung mereka juga diamini oleh para petani. Adanya produk-produk tersebut dijual
di Kota-kota kabupaten dan kecamatan terdekat seperti Putusibau, Badau, Tepuai,
Sintang, dan Melawi telah mereka jumpai ketika berkunjung ke kota-kota
tersebut. Adanya peluang ekonomi dari produk-produk pangan organik dan
berkelanjutan yang dibutuhkan pasar atau konsumen di kota-kota tersebut saat
ini mendapatkan antusiasisme poisitif yang besar dari para petani. Namun
tersisa tanya dibenak mereka, bagaimana mereka bisa menghadapi situasi dan
kondisi ini ?
Pengetahuan petani dan Standar Penjaminan Mutu Beras organik
Pengetahuan
lokal petani tradisi Kalimantan dalam kaitan dengan Sistem Penjaminan Mutu
Beras Organik, sesungguhnya dapat dikatakan hampir punah seiring dengan hampir
punahnya system dan metode pertanian tradisi berladang di kampung-kampung
ini. Pengetahuan dan ketrampilan dalam
mengelolah ladang secara arif telah banyak hilang seiring dengan banyaknya
informasi dan pengetahuan baru yang belum teruji kesesuaiannya dengan konteks
lokal. Terutama ketika misalnya
mengintroduksi varietas tanaman pangan baru.
Kondisi iklim dan tanah di kampung-kampung ini tidak sesuai dengan
kondisi iklim dan tanah dimana varietas tersebut diproduksi. Dibutuhkan adaptasi tanaman dalam rentang
waktu yang panjang, termasuk adaptasi pengetahuan dan ketrampilan petani dalam
budidaya varietas baru tersebut.
Ada
sebanyak 236 orang petani tradisi dari kabupaten Kapuas Hulu dan Melawi yang
berdiskusi tentang Standar penjaminan mutu beras organik ini. Namun memang
pemahaman atas standar penjaminan mutu beras organik masih sangat
terbatas. Hal ini memang sangat mudah
dipahami karena memang para petani pangan ini berproduksi hanya untuk kebutuhan
subsisten, tidak bersentuhan dengan pasar atau konsumsen diluar kampung mereka.
Sebagian besar pangan mereka, terutama beras masih disuplai dari luar kampung.
Produksi padi mereka semakin hari semakin menurun hasilnya karena iklim yang
semakin sulit diprediksi dan semakin rusaknya eksosistem hutan disekitar
kampung mereka yang mempengaruhi kestabilan iklim mikro yang dapat menunjang
produksi pertanian mereka.
Kelembagaan Petani untuk Mutu Beras Kampung
Kelembagaan petani di kampung akan semakin menguat
dengan adanya upaya yang serius dan kuat dari parapihak, pemerintah daerah dan
kelembagaan non pemerintah lainya untuk mensinergiskan kelembagaan, tentunya
beserta program mereka dengan kelembagaan ditingkat petani. Faktanya di lapangan, sinergi tersebut belum
terbangun dengan baik. Manajemen
perencanaan dan implementasi program pada berbagai pihak seringkali tidak dapat
disingkronkan atau mungkin dugaan lain memang belum menjadikan isu sinergitas
ini sebagai isu penting. Semangat korps dan ego sectoral sepertinya masih kuat
membelenggu gerak Langkah menuju sinergis tersebut. Diperlukan
individu-individu pendobrak ataupun martir yang berfungsi untuk membangun semangat
bersama untuk memajukan kelembagaan petani tersebut.
Dari proses pelatihan dan konsultasi yang dilakukan dalam
kaitan dengan penguatan kelembagaan atau
organisasi petani adalah Pelatihan Internal Control Sistem (ICS). Pelatihan
singkat ini mengajak petani untuk bagaimana menjaga dan mengawasi mutu produk
pertaniannya agar sesuai dengan kebutuhan pasar. Standar atau Aturan Organik Internal Kelompok
adalah salah satu point penting, selain Komposisi Kepengurusan. Dari 4 Desa yang mengikuti pelatihan, telah
disusun standar organik Internal kelompok ICS di masing-masing desa yang
menjadi panduan pengurus ICS dan anggota untuk melakukan pengawasan produk yang
dihasilkan oleh petani-petani anggota.
Dari proses pelatihan yang dilakukan di 5 Desa, telah
terdeteksi kelembagaan petani yang diharapkan dapat menjadi cikal bakal
kelembagaan ICS Beras Kampung yang dapat dijadikan media untuk mengontrol mutu
produk yang dihasilkan oleh petani-petani di desa-desa tersebut. Dari keseluruhan desa dan petani yang
mengikuti pelatihan ini, belum dilakukan
upaya untuk membentuk kelembagaan ICS secara khusus. Tetapi kelompok-kelompok tani maupun Gapoktan
yang telah ada di masing-masing desa tersebut dapat menjadi cikal bakal
kelembagaan ICS jika pada saatnya nanti dibutuhkan, terutama ketika telah ada
dan siapnya produk-produk beras kampung atau pangan lokal yang akan dipasarkan
ke pasar keluar desa seperti ke kota kabupaten Putusibau, kota kecamatan Badau,
Teupai, Kota kabupaten Sintang maupun Melawi.
Mimpi Petani ke Depan
Beberapa
mimpi yang dihasilkan dari pengembaraan ini, diantaranya adalah Petani kelompok
ICS organik di desa Poring bermimpi akan memiliki peternakan ayam kampung
organik sebanyak minimal 200 ekor dan dapat membuat pupuk organic sendiri agar
dapat menyuburkan tanah untuk kebun-kebun sayur. Meskipun menurut Pak Ayub-PPL dari Dinas
Pertanian dan Perikanan Melawi, “di poring ini memang cukup banyak masalah
pertanian, terutama karet dan berladang kering. Disini sebenarnya masih organik,
karena belum tersentuh barang dan obat kimia dalam pengolahannya. Namun kendala
di sini adalah dari alamnya, saat mencoba menanam padi di system persawahan,
padi yang ditanam akan berpindah karena banjir. Jadi saat ini system pengairan
untuk persawahan masih menjadi kendala untuk di desa Poring. Dan terkait
holtikultura juga di desa ini masih pada pertanian local sayur mayur”. Dan Kepala Desa Poring sendiri menyatakan
bahwa “di desa kami ini memang masih kekurangan ilmu dan SDMnya. Kami sangat
berterimaksih karena WWF mau bersedia hadir ke desa kami untuk berbagi ilmu
terkait pertanian. Kami terus mencoba membangun agar kelompok pertanian ini
menjadi icon desa. Kami ingin pertanian dan system pertanian disini menjadi
lebih maju. Cita-cita kami kedepan desa ini memiliki Bumdes dan bisa menjual
beras kampung”.
Komunitas
petani Rumah Betang dusun Sei Utik berkomitmen akan berembuk untuk
mengembangkan potensi buah lokal dan hasl hutan non kayu mereka untuk dapat
diolah menjadi produk organik unggulan terutama untuk minimal kebutuhan turis
yang akan berkunjung ke rumah betang tersebut. Rembug kan tersebut lebih
dimaksudkan untuk mensinergiskan program-program yang didukung oleh berbagai
pihak yang masuk dan dikembangkan di desa ini.
Semoga berbagai pihak yang sedang dan akan masuk ke dusun Sei Utik ini
dapat membangun sinergis dengan inisiatif produk organik ini.
Komunitas
petani dusun Kelayam akan mengembangkan pupuk alami atau organic dan membuat Pilot
project mengenai jenis-jenis tanaman pangan yang berpotensi menjadi produk
organik. Dan menurut Petugas Penyuluh Lapangan yang turut serta dalam pelatihan, rencana ini
akan dikomunikasikan dengan Dinas Pertanian kabupaten Kapuas Hulu untuk kiranya
bisa mendapatkan dukungan.
Petani dari Desa Tanjung akan membuat Demplot Sayur organik seperti labu, terung, mentimun,
kacang panjang dan cabe. Luas lahan minimal setengah hektar, Sayur-sayuran
organic Lahan Menetap tanpa Bakar seluas ¼ hektar dan Demplot Kopi organik, ½
hektar. Kopi campur ada liberica, robusta dan Ladang Organik Menetap tanpa
Bakar ¼ Ha. Jenis/Varietas Lokal/Beras Kampung
: varietas Sakak. Petani dari Desa Lubuk
Antuk akan membuat Demplot Satu petak sawah organik yang ditanami jenis padi
Inpari dan Beras Kampung Jawas. Petani
dari Desa Mentawit akan membuat Demplot padi lokal organik (Beras Kampung Jawas) dan Beras/Padi Cisadane minimal 1 Ha.
Ide-Ide untuk Kita
Dari
pengembaraan di 4 Desa di kabupaten Melawi. Desa Poring Kecamatan Nanga Pinoh
adalah Desa dan Kelompok Tani yang paling potensial untuk ditindak lanjuti
dengan program/kegiatan lanjutan. Hal
ini merujuk kepada motivasi dan keinginan yang kuat dari petani-petani yang
mengikuti pelatihan d desa tersebut.
Menyusul kemudian rankingnya ke Nanga Ella Hilir, Belaban Ella dan
terakhir Batu Nanta.
Terkait
dengan rencana tindak lanjut dari Kelompok-Kelompok ICS masing-masing desa,
diperlukan komunikasi, koordinasi dan dukungan untuk Dinas Pertanian dan
Perikanan Kabupaten Melawi, terutama dengan PPL yang bertugas di masing-masing
desa untuk terutama melakukan kegiatan-kegiatan pelatihan teknis budidaya pertanian
organik berkelanjutan.
Secara
khusus untuk memotivasi Kelompok-kelompok Tani di desa-desa tersebut,
diperlukan upaya untuk pro aktif mencari pangsa pasar bagi produk pertanian
yang potensial di desa-desa tersebut. Kerja sama dengan Dinas Perindustrian,
Perdagangan dan Dinas Koperasi dan UMKM kabupaten Melawi untuk misalnya melahirkan kebijakan Bupati
untuk setiap ASN di kabupaten Melawi untuk membeli produk-produk organic dari
desa-desa tersebut menjadi salah opsi yang menarik untuk dikomunikasikan ke
Bupati Melawi.
Secara
khusus untuk membangun sistem penjaminan dan pasar, Forum Participatory Guarantee
System (PGS) kabupaten Melawi yang telah dirintis oleh WWF dan Dinas Pertanian
dan Perikanan kabupaten Melawi pada tahun 2020 lalu perlu ditindak lanjuti
dengan melibatkan Supermarket-supermarket Besar dan Konsumen di Melawi ataupun
di Sintang. Tentunya diperlukan keberanian dan inisiatif dari aktor penting di
kabupaten ini untuk memperkuat system pangan lokal yang berbasis pada
pembangunan kesepahaman dan Gerakan Bersama tentang pentingnya membangun system
pangan local dalam kontek keberlanjutan ke depan. Pemerintah daerah dalam hal
ini dinas terkait diharapkan dapat memfasilitasi keinginan dan gagasan dari
rencana tindak lanjut yang telah disusun dan disepakati bersama petani peserta
dalam pelatihan di masing-masing desa tersebut.
Membangun
komunikasi yang konstruktif atas rencana
tindak lanjut dari 5 desa tersebut ke berbagai pihak terutama Dinas Pertanian
dan Pangan Kabupaten Kapuas Hulu, Pelaku Pasar dan konsumen baiknya terus
diupayakan secara terstruktur dan massif.
Menyiapkan strategi uji coba fasilitasi pasar untuk produk beras kampung
yang akan dihasilkan dari demplot-demplot yang direncanakan adalah salah satu
kunci penting yang harus disiapkan oleh kelompok tani bersama pemerintah
desanya.
Baiknya Dilakukan
Baiknya
dibuat proyek food estate organic komunitas di kampung-kampung di kabupaten
Melawi dan Kapuas Hulu. Kebijakan penetapan tata ruang lahan untuk pangan
berkelanjutan berbasis kabupaten penting untuk dilahirkan. Pilot Project Jangka
Panjang (5 tahun) berupa Program “Ladang Menetap Padi Lokal (Beras Kampung)
Organik” yang dilakukan di minimal 1 desa di Kabupaten Melawi dan 1 Desa di
Kabupaten Kapuas Hulu. Untuk Kabupaten
Melawi, diusulkan Desa Poring Kecamatan Nanga Pinoh dan untuk Kabupaten Kapuas
Hulu di Desa Lubuk Antuk Kecamatan Hulu Gurung.
Pilot
project ini adalah bagian penting untuk membangun sistem ketahanan dan
kedaulatan pangan bagi komunitas-komunitas kampung tersebut dan dapat menjawab
konsep-konsep sustainability yang ada saat ini tidak hanya untuk keberlanjutan
pihak lain tetapi keberlanjutan kehidupan dan mata pencaharian di tingkat lokal
di level kampung-kampung tersebut.
Setelah selesai dengan keberlanjutan ditingkat tapak tersebut, barulah
kita bicara tentang keberlanjutan pada rantai suplai ke level berikutnya. Pembangunan dari pinggiran atau pembangunan
dari desa harusnya menjadi jargon penting yang hendaknya diwujudkan dengan
nyata dalam inisiatif membangun system pangan local komunitas ini.
Sesungguhnya,
jika Pemerintah terutama dan seharusnya mendapatkan penguatan dari DPR yang
merupakan wakil dari petani-petani tradisi ini. Proyek khusus terkait penguatan
dan pengembangan pertanian tradisi ini seharusnya menjadi perhatian
khusus. Mungkin terlalu utopis jika harus berharap dan mulai dari pemerintah
dan DPR nasional. Mungkin lebih realis jika inisiatif ini lahir dari petani-petani
tradisi dan organisasi masyarakat sipil
lokal di daerah kabupaten atau propinsi
yang didukung oleh pemerintah daerah dan DPRD untuk menyadari betapa
pentingnya system pangan lokal ini bagi keberlanjutan pangan daerah,
keberlanjutan kehidupan bagi masyarakat di daerah yang mandiri dan berdaulat.
Bogor,
20 Januari 2022
Comments
Post a Comment