Skip to main content

Forum Anggota Nasional 2008 Hari Kedua Pleno III


PLENO III
Hari/tanggal               : Sabtu, 9 Agustus 2008
Waktu                          : Pkl. 10.40 – 12.30 wib
Agenda                        : Diskusi Publik  RUU Perlindungan dan Pemanfaatan Kekayaan Intelektual Ekspresi Budaya Tradisional (PPKIEBT)
Narasumber                : 1.   Bpk.  Solo Sirait (Dirjen HKI, Depkumham RI)
                                      2.   Bpk. Prof. Agus Sardjono (Dosen UI)
Moderator Diskusi      : Lalu Pharmanegara
Peserta                        : Affan (Bima Lestari Sejahtera, Mojokerto), Aminuddin  
(individu/Korwil Jatim Bali, tinggal di Malang), Sabaruddin    (KSPLH), Nuzul Azmi (Patasarlinkara, Malang), Lalu Pharmanegara (Majelis Krame Adat Sasak-Mataram), Supia Kusmina (Yayasan Dian Tama-Pontianak), Anton Waspo (Elsppat/JKTI Jabar DKI), Dwie (Elsppat/Panitia), Anas N. (WWF-Indonesia, Putusibau, Kalbar), Didit Endro S.(Yayasan Celcius-Jepara).
Undangan yang hadir:   Rizaldi Siagian (seniman Batak), Hanim (Konphalindo/IGJ), Maria
Dharmaningsih (Dosen IKJ), Soultan Saladin  (seniman/budayawan), Trisnaya (pakar hukum internasional), ICEL 
Notulen                       : Daniel (elsppat)


Catatan Proses:

Waspo:
Selamat datang pak Agus dan pak Sirait.  Sekedar info, kemarin kami sudah berkumpul untuk pertemuan nasional 3 tahunan dalam JKTI.  Sengaja kami mengadakan sesi ini untuk mengetahui perkembangan terakhir ttg pengetahuan tradisional.  Kami ingin mendengar pandangan dari pemerintah dan dari akademisi.  Waktu sampai makan siang. Setelah  mkn siang bisa dilanjutkan. Untuk memandu diskusi silahkan pak Pharma.

Pharma (Moderator):
Selamat datang kepada Pak Agus dan Pak Solo Sirait. Juga selamat datang kepada kawan dari IGJ, Teras, dll. Kita akan mendengar kajian Prof Agus ttg RUU PPKIEBT.  Pak Solo juga sbg orang yg peduli terhadap   Ada yg birokrat, semi dan ada murni akademisi.  Kami persilahkan pak Solo Sirait untuk berbicara.

Presentasi Narasumber ke-1: Bapak Solo Sirait (Ditjen Haki, Depkumham):

Solo Sirait (Dirjen HAKI):
Mengenai RUU PPKIBT, apa sudah masuk pembahasan di DPR atau belum, saya belum tahu.  RUU baru pembahasan di tingkat departemen. Masalah Ekspresi Budaya Tradisional (EBT) atau biasa disebut folklore sebetulnya sudah diatur dalam UU Hak Cipta pasal 10.  Masalahnya  pasal 10 UU tsb sampai sekarang belum ada peraturan pelaksanaannya dalam bentuk PP. Hal ini menimbulkan banyak kebingungan di banyak kalangan para pihak yg peduli dengan folklore itu sendiri.  Permasalahan yg muncul di lapangan, banyak dari pihak provinsi (pemda) yg mendaftarkan usaha produksi (yang termasuk folklore) di daerahnya ke Dirjen HKI.  Tahun 2005 ada sekitar 3000 permohonan yg diajukan Deperindag ke kantor kami.  Kami terima saja karena itu bagian dari proyek Prona Deperindag. Setelah kami lihat ternyata hampir 80% dari produk yg didaftarkan tersebut adalah produk folklore (ekspresi kebudayaan) yang tidak diatur dalam UU Hak Cipta. Sehingga pendaftaran tersebut kami tolak karena memang produk yg masuk folklore belum diatur secara jelas dalam UU Hak Cipta.   Inilah latar belakang lahirnya RUU PPKIEBT yaitu untuk melindungi EBT (folklore). Kami juga pernah undang Candra Darusman dari WIPO untuk membuat  draft RUU EBT.  Secara internasional  folklore jg belum diatur secara jelas. Kesulitan lain adalah di tingkat petugas pemeriksa pendaftaran di kantor kami  yg tidak mengetahui bahwa suatu produk yg didaftarkan sebetulnya tergolong folklore (EBT).  Ada bahaya kalo surat pendaftaran itu diterima dan disetujui maka akan terjadi monopoli dalam produksi produk tersebut. 
Padahal menurut pasal 10 UU Hak Cipta, EBT adalah milik bersama dan reproduksi EBT pada prinsipnya tidak perlu meminta ijin ke suatu pihak/daerah di mana EBT itu berasal. Contoh kasus yg kami hadapi misalnya soal produk kerajinan tradisional di daerah Kediri.  Di Kediri ada produk kerajinan berupa wadah tempat sembahyang dari masyarakat lokal.  Produk ini awalnya terbuat dari tanah liat dan kemudian dikembangkan menjadi produk dari bahan perak. Kemudian bahan bakunya berkembang lagi menjadi terbuat dari kuningan. Produk kerajinan masyarakat Kediri tersebut didaftarkan oleh seorang Cina Medan ke kantor kami.  Oleh si orang Cina, produk tsb diklaim sebagai ciptaannya.  Setelah diperiksa, akhirnya pendaftaran itu dikabulkan oleh petugas Dirjen HKI.  Pengabulan ini karena si petugas tidak paham bahwa produk tsb merupakan produk folklore.  Akibatnya, penjualan produk tsb oleh toko-toko yg menjual produk tsb di Jakarta dilaporkan ke polisi oleh si orang Cina.  Reaksi protes balik ke kantor Dirjen Haki muncul dari pihak masyarakat Kediri yg merasa produk itu adalah milik mereka secara turun temurun. Dalam UU Hak Cipta, pembatalan pendaftaran hak cipta yg telah disetujui kantor Dirjen Haki dimungkinkan melalui pengadilan niaga dengan syarat harus ada gugagatan dari pihak penggugat (masyarakat Kediri) yg merasa dilanggar hak-haknya. Akhirnya pendaftaran hak cipta atas produk tsb bisa dibatalkan lewat proses pengadilan setelah ada tindakan dari pihak  Dirjen Haki yang diperkuat dengan adanya tandatangan dari beberapa perwakilan masyarakat Kediri yg menjadi penggugat. Kasus kedua adalah kasus rumah adat Tongkonan dari Toraja yg didaftarkan oleh seorang Cina. Akibatnya, orang Toraja yg ada di Makasar marah karena rumah adat tsb merupakan folklor. Masak diklaim oleh individu. Adanya kasus-kasus tersebut yg mendasari perlunya perlindungan (dlm bentuk UU) terhadap produk pengetahuan tradisional merupakan folklor. 
Terkait RUU PPKIEBT, RUU  ini telah dibahas dengan bbrp instansi dan dengan pihak masyarakat.  Prof Agus yg ada di samping saya juga ikut dalam pembahasan RUU ini.   Saya sendiri tidak ikut dalam tim pembahas RUU ini.  Tapi saya rajin membaca RUU ini.  Mari kita  perhatikan Draft RUU ini.  Pertama dasar Filosofis, Yuridis, Sosiologis, & Tujuan ....dibacakan narasumber dari presentasi power point….. (lihat konsideran RUU bagian menimbang poin a-f).  
Kemudian beberapa pertimbangan (perlunya RUU PPKIEBT):
v  Pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional yang berasal dari Indonesia dan hingga saat ini masih dilestarikan keberadaannya sangat banyak (sayang pendokumentasian mereka belum dilakukan dan dikelola secara optimal);

Banyak terjadi kasus pendaftaran hak cipta oleh individu yg sebetulnya apa yg didaftarkan tsb merupakan folklor (EBT).  Untuk kasus ini, kesepakatan di kantor kami, untuk pendaftaran produk yg merupakan folklor, kami hanya melakukan inventarisasi saja produk tsb ke data base Dirjen Haki.  Jadi kami tidak akan mengeluarkan surat pendaftaran atas produk EBT tersebut.  Intinya pendaftaran folklor merupakan suatu kekeliruan.  Menurut Kepala Dirjen Haki, Pak Anshory, list produk folklore yg telah masuk data base Dirjen Haki bulan Maret akan dikirim ke WIPO.  Menurut saya maksudnya adalah agar apabila terjadi klaim/eksploitasi suatu produk folklor Indonesia oleh pihak asing (seperti kasus Reog Ponorogo dan lagu Rasa Sayang-sayang-e yg diklaim Malaysia) maka pihak kita dapat melakukan tuntutan thd pihak asing tsb.

v  Adanya berbagai misuse/misappropriation;

v  Semakin meningkatnya kesadaran masyarakat mengenai perlu tersedianya  sistem perlindungan yang memadai di bidang pendayagunaan pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional (termasuk yang terkait dengan hak kekayaan intelektual – HKI) .

v  Berbagai bentuk perlindungan budaya tradisional yang telah tersedia (termasuk melalui sistem HKI), dirasa belum mengakomodasikan perlindungan yang memadai dalam hal pemanfaatan/pendayagunaan pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional.

Berdasarkan sistem HKI dalam UU Hak Cipta, hak cipta folklor dipegang negara.  UU Perlindungan Varietas Tanaman merupakan bagian dari HAKI, tapi dikelola Deptan.
Beberapa Perbedaan yang Mendasar di bidang Kekayaan Intelektual: dijelaskan perbedaan antara Pengetahuan & Ekspresi Budaya Tradisional dan  Karya Intelektual (KI) Non Tradisional (lihat presentasi power point narasumber).

Dalam praktek, sulit untuk mengenali mana produk yg merupakan hasil Pengetahuan & Ekspresi Budaya Tradisional.  Contohnya kain songket. Apalagi kalo sudah mengalami pengembangan (modifikasi).  Orang asli Palembang saja sudah sulit mengenali kain songket yg asli.  Sudah sulit untuk membedakan mana produk yg masih asli (berdasar pengetahuan yg tradisional) dan mana produk yg sudah mengalami pengembangan (kontemporer).  Sehingga kami kesulitan memberikan perlindungan thd karya-karya yg merupakan pengetahuan EBT. 
Kepemilikan atas Kekayaan intelektual terbagi dua: komunal dan personal.  Untuk kepemilikan komunal terdiri atas:
  1. Ekspresi budaya tradisional (folklor)
  2. Pengetahuan tradisional
  3. Indikasi asal; misalnya Gudeg dari Yogya.
  4. Indikasi geografis;
Adapun kepemilikan personal terbagi atas hak cipta (pengetahuan, seni, sastra, dan hak-hak terkait) dan hak milik industri (paten, rahasia dagang, merek, desain industri, varietas tanaman). Yang menjadi trend saat ini adalah soal rahasia dagang.  Ada perusahaan benih yg mengajukan pendaftaran rahasia dagang ke petugas kantor kami.   Sebetulnya tidak ada pendaftaran rahasia dagang.  Intinya masih banyak terjadi kebingungan di masyarakat terkait soal ini. Demikian juga petugas di kantor kami banyak yg kurang mengerti peraturan.  Harusnya, masyarakat cukup konsultasi dengan konsultan yg telah direkomendasi Dirjen Haki.  Tidak perlu langsung ke kantor Dirjen Haki.  Contoh kasus merk ”cap Kurma” dan merk ”pohon Kurma”.  Kalau kita bicara soal pengetahuan tradisional dan EBT (folklor), sebetulnya banyak aspek yg terkait.  Inilah sekilas latar belakang mengapa kami membuat draft RUU PPKIEBT. Kira-kira begitu yg dpt saya sampaikan, silahkan kalo ada pertanyaan, bisa kami jawab.

Pharma:
Terima kasih pd Pak Solo Sirait.  Selamat datang utk pak Rizaldi Siagian yg baru datang.  Selanjutnya kami persilahkan Prof Agus untuk presentasi.

Presentasi Narasumber ke-2: Bapak Prof Agus Sardjono (Universitas Indonesia)

Prof Agus:
Saya ingin menyambung apa yg disampaikan pak Sirait.  Waktu saya masih di Pokja memang sy terlibat dlm proses awal penyusunan draft RUU.  Tapi saya tidak terlibat dalam perumusan pasal per pasal dari RUU ini bahkan dalam penyusunan naskah akademiknya saya tidak lagi terlibat. Jadi sy tidak tahu bahwa hasil RUU bisa menjadi seperti ini. Terus terang dari draft ini saya apresiasi karena saya melihat ada beberapa perubahan ke arah yg lebih baik.  Kalo kita bicara folklore kita bicara berbagai hal.  Dalam RUU ini dikatakan bahwa ekspresi budaya tradisional (folklore) adalah suatu karya intelektual dalam bidang seni yang mengandung unsur karakteristik warisan tradisional yang dihasilkan, dikembangkan dan dipelihara oleh komunitas atau masyarakat tertentu (lihat presentasi Power Point dan bandingkan dengan definisi menurut pasal 1 RUU ini).  Batik adalah salah satu bentuk EBT. Bicara batik bukan bicara kainnya tapi teknologi pembuatan kain yg berornamen sesuai tradisi masing2 wilayah.  Batik masuk kelompok karya visual.  Musik juga masuk kelompok EBT. Yang penting, apa yg harus kita lakukan terkait ekspersi budaya tradisional?  Hal terpenting adalah development, mengembangkan EBT; bukan terbatas pd karyanya saja tapi mengembangkan cara-cara atau variasi-variasi yg bisa dikembangkan yg bersumber dari EBT tersebut.  Pengembangan folklore penting sehingga harusnya diatur dalam RUU ini.  Berikutnya adalah melestarikan karena disamping mengembangkan, EBT  perlu lestari supaya tidak punah, baik audiensnya maupun  karyanya itu sendiri.  Kemudian warisan budaya juga dapat dimanfaatkan sebagai sumber ekonomi untuk mensejahterakan pelaku-pelakunya atau siapa saja yang hendak memanfaatkan EBT tsb. Yang terakhir adalah melindungi.  Dalam konteks ini harus tepat.  Karena kita tidak mungkin mengadopsi suatu sistem selain sistem yg diketahui, dimaknai, dihayati oleh masyarakat pemangku dari warisan budaya itu.  Kalau saya amati, RUU ini hanya mengambil porsi kecil dari apa yang seharusnya kita lakukan.  Jadi RUU ini hanya melihat pd masalah pemanfaatan dan perlindungan.  Judulnya saja hanya perlindungan dan pemanfaatan kekayaan intelektual ekspresi budaya tradisional.  Pada pasal 1 butir 3 disebutkan: Perlindungan adalah segala bentuk upaya melindungi EBT thd pemanfaatan yg dilakukan secara tanpa hak dan melanggar kepatutan. Lalu pemanfaatan dikatakan adalah pendayagunaan EBT di luar konteks tradisi.  Lalu kita melihat dalam RUU ini dikatakan bahwa tradisi adalah warisan budaya masyarakat yg dipelihara dan atau dikembangkan secara berkelanjutan, lintas generasi oleh suatu komunitas atau masyarakat adat.  Hal ini adalah beberapa pengertian yang dipakai sebagai definisi operasional dari UU tersebut.  Pokok persoalan adalah bahwa masalah warisan budaya mengemuka akhir-akhir ini bahkan sampai forum internasional disebabkan karena adanya pemanfaatan secara melawan hak atas warisan budaya itu.   Dalam RUU pasal 3, dikatakan bahwa Perlindungan EBT meliputi pencegahan dan pelarangan terhadap:
a.      pemanfaatan yang dilakukan tanpa izin oleh orang asing atau badan hukum asing; Jadi disini ada konteks asing dan non-asing
b.      pemanfaatan secara komersial yang dilakukan tanpa perjanjian pemanfaatan oleh orang atau badan hukum Indonesia; Jadi disini ada masalah komersialisasi warisan budaya oleh orang/pribadi atau badan hukum Iindonesia; di sini akan banyak masalah, nanti akan saya tunjukkan.
c.       segala pemanfaatan yg tidak menyebutkan dengan jelas asal wilayah dan komunitas atau masyarakat yang menjadi sumber EBT tersebut; Saya kira rumusan ini baik karena ini masalah atribusi, artinya dari mana warisan budaya berasal, harus disebutkan.  
d.      segala pemanfaatan EBT yg dilakukan secara menyimpang dan menimbulkan kesan tidak benar thd masyarakat terkait, atau yg membuat masyarakat tsb merasa tersinggung, terhina, tercela dan/atau tercemar. Saya kira ini baik tidak masalah.

Saya melihat, poin c dan d tidak bermasalah.  Yang akan bermasalah poin a dan b.
Masalahnya seperti apa? Dalam RUU ini yang menjadi fokus perlindungan adalah: (1) pemanfaatan oleh orang asing tanpa ijin; (2) pemanfaatan oleh orang/badan hukum Indonesia untuk tujuan komersial; (3)   pemanfaatan yg tidak menyebutkan dengan jelas asal wilayah dan komunitas atau masyarakat yang menjadi sumber EBT; (4) segala pemanfaatan EBT yg dilakukan secara menyimpang dan menimbulkan kesan tidak benar thd masyarakat, menyinggung harkat dan martabat. Saya mulai saja dari yg pertama.  Ini adalah pemanfaatan oleh orang asing tapi di luar wilayah indonesia. Satu contoh yang sangat populer adalah penggunaan pengetahuan tradisional  obat-obatan sebagai sumber untuk  penelitian di bidang farmakologi.  Hasil penelitian itu adalah new invention di bidang farmasi. Tentu saja mereka melakukannya tanpa ijin bahkan tidak menyebut sumbernya.  Ini sudah banyak kejadian. Bagaimana UU ini bisa menjangkau hal ini?  Yang tadi kan jadi ada pemanfaatan.  Apa yang dimaksud pemanfaatan dalan RUU ini? Pada pasal 6, bentuk-bentuk pemanfaatan adalah: pengumuman, perbanyakan, penyebarluasan dst...yang kalo saya amati itu sebenarnya hanya saduran dari sistem hak cipta.   Kalo pasal 6 ini diterapkan thd bentuk pemanfaatan tsb, begini hasilnya.  Artinya lolos dari UU ini.  Sebab yang namanya invention itu tidak masuk sama sekali dalam kategori hak cipta, tapi masuk ke paten. Sehingga kalau mau, ada pemanfaatan dalam konteks paten, rahasia dagang, disain industri dst  Tapi (bentuk pemanfaatan) yang ada dalam RUU ini adalah saduran dari sistem hak cipta.  Misalnya pengumuman, perbanyakan, penyebarluasan, distribusi, penyiaran, pengubahan, pengalihwujudan, pengutipan, pengadaptasian semuanya ada dalam konteks hak cipta, yang  tidak bisa menjangkau peristiwa yg terjadi karena adanya misapprepriation di bidang teknologi. Padahal, sudah jelas bahwa  paten thd pharmatheutical itu bisa dikategorikan sebagai unjust tourism; yang kalo kita fokus pada pengertian ini saja, tidak usah pd pengertian HAKI, ada rezim yang bisa menangani itu yaitu yg disebut unfair bussines practicies, unfair bussines competition, jadi bisa ditangani. Tapi dengan adanya ketentuan HAKI semacam ini maka itu menjadi tidak pas/tidak cocok.  Artinya, missapprepriation yg terjadi di luar itu tidak bisa dijangkau oleh UU ini.  Problem berikutnya adalah UU ini bersifat teritorial, tidak bisa berlaku di luar negeri. Bagaimana dengan pemanfaatan warisan budaya yg terjadi di luar yuridiksi Indonesia? UU ini tidak bisa menjangkau.  Tentu harus ada solusinya kan? Saya melihat solusinya kalo berkaitan dengan paten tadi adalah mengadopsi  spirit dari pasal 3.  Saya menggunakan spiritnya bukan normanya. Maksudnya spirit pasal 3 tsb diadopsi ke dalam amandemen UU Paten dalam bentuk persyaratan bahwa untuk aplikasi paten,  diwajibkan menyebutkan sumber dari pengetahuan tradisional atau sumber dari genetik tersebut.  Isu ini sudah didiskusikan secara internasional.  Salah seorang petinggi WIPO sudah mengatakan hal ini bisa dilakukan dalam bentuk syarat administratif untuk aplikasi paten. Tapi saya tidak tahu mengapa Dirjen HKI berkeberatan dengan syarat ini. Padahal dalam wacana internasional itu sudah dibicarakan.  Dengan masuknya syarat ini dalam international convention, maka negara peserta itu akan terikat dengan konvensi ini.  Kalau sudah terikat maka mau tidak mau kalo seseorang/badan hukum menggunakan warisan budaya untuk bahan obat-obatan dan sebagainya,  ketika dia hendak mendaftarkan di suatu negara maka dia harus menyebutkan asal-usulnya.  Baru kemudian apa yg disebutkan dalam pasal 3 btr c bisa masuk; yaitu adanya atribusi dan apresiasi terhadap asal-usul dari teknologi ybs.  Sebelum langkah ini terwujud maka ada baiknya RUU PPKIEBT harus lebih dahulu mengadopsi langkah tersebut dan mengamandemen UU Paten nasional utk menampung gagasan perlindungan yang dimaksud.  Wacana ini saya kira ada waktu CBD di Jerman, dicussion of origin.  Hanya konsepnya seperti apa, masih debatable. Masalah lain yang muncul terkait isu tadi adalah adanya kasus  pendaftaran design pattern dari motif ukiran Bali (ukiran kayu berbentuk buah-buahan) di US WTO (Amerika).  Ketika ada orang Bali mau ekspor produk bermotif tsb, dibanned di Amerika karena motif tsb tsb sudah terdaftar sebagai design pattern di Amerika. Kasus ini sempat dipublikasikan dalam media kami.  Itu kejadiannya di luar negeri.  Kalo kita melihat konsep RUU PPKIEBT, maka RUU ini sama sekali tidak bisa memberikan fasilitas untuk melakukan aksi apabila ada warisan budaya tradisional Indonesia yang dimanfaatkan di luar negeri. Ambil contoh soal kasus merk kopi Gayo (mountain Gayo Coffee) di Belanda.   Orang Gayo tidak bisa lagi mengekspor kopinya ke Eropa.  Mengapa? Karena merek itu sudah dipakai di sana.  Padahal itu jelas indikasi geografisnya berasal dari Indonesia, bukan Belanda. Trus kemarin Mark baru cerita soal kasus ukiran itu yang tidak bisa ekspor ke Perancis hanya karena produk tsb sudah terdaftar di sana.  Artinya apa? Ada problem-problem yang sebetulnya kejadiannya di luar negeri yang tidak mungkin kita bisa menjangkaunya dengan UU ini. Artinya UU ini sifatnya amat inward, artinya hanya melihat ke dalam, tapi tidak melihat apa yg terjadi di luar.  Padahal, esensi dari perlindungan ini seharusnya adalah dia harus mampu melindungi apa yg terjadi di luar negeri, bukan di dalam negeri.
Kalau yang terjadi di dalam negeri, ada contoh yg kebetulan pelakunya ada disebelah saya. Nanti kita akan lihat apakah pelakunya bisa kita marahin atau tidak.   Pak Solo mungkin jg tahu. 

Pemutaran film.....

Lihat yg berkacamata itu. Inilah dia orangnya (menunjuk pada Rizaldi Siagian, seniman musik Tapanuli).

Film tadi adalah contoh dari pemanfaatan oleh orang Indonesia atas pengetahuan tradisional dari masing-masing kelompok etnik.   Kalau kita kembali pada ketentuan dalam pasal 3 poin bdisitu ada ketentuan larangan pemanfaatan oleh orang Indonesia tanpa mengadakan perjanjian terlebih dahulu.  Pertanyaannya kemudian adalah: apakah pemanfaatan seni tradisi oleh Abang Rizaldi harus mengadakan perjanjian terlebih dahulu dengan masyarakat Banyuwangi? Atau kemudian Abang Rizaldi yg tadi main musik gondang Batak apakah dia harus minta ijin terlebih dahulu dengan suku Batak, padahal pelakunya adalah orang Batak? Abang Rizaldi ini asli Batak.  Lalu kemudian yg tadi, tari Hoho, dari Nias, apakah harus bikin perjanjian dengan orang Nias? Siapa yg berhak mewakili orang Nias?  Problem-problem inilah yang akan muncul ketika UU ini mau diterapkan.  Mengapa problem ini muncul? Karena idiom yang digunakan oleh UU ini adalah idiom HAKI melalui rezim yang namanya perizinan. Harusnya bagaimana? Maka kita harus kembali pada UUD.  Dalam UUD dikatakan bahwa negara melindungi segenap tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dst.  Jadi sebetulnya apa yg harus dilakukan itu bukanlah membebankan kepada masyarakat untuk melakukan tindakan-tindakaan berkenaan dengan pemanfaatan itu,  seperti Abang Rizaldi harus minta ijin pada orang Nias, minta ijin pada orang Batak dst.
Adalah kewajiban negara untuk melindungi hak-hak warganya yang dimanfaatkan orang asing di luar negeri sebetulnya secara melawan hak melalui gugatan perdata maupun melalui pendekatan diplomatik.  Ada contoh kasus pattern yang terdaftar di US WTO Amerika Serikat.  Ada orang India bernama Vandana Shiva yang melakukan gugatan terhadap pendaftaran pattern dan berhasil.  Artinya apa? Ada referensi berhasil, walau yang melakukan adalah perseorangan.  Tapi mungkin, pemerintah Indonesia melalui UU ini, bisa memberikan fasilitas kepada individu yang akan melakukan tindakan ke luar negeri manakala di luar negeri terjadi missapropriation (pemanfaatan secara melawan hak) terhadap warisan budaya di Indonesia.  Itu artinya outward looking, yaitu melihat apa yang terjadi di luar.  Bukan ngurusin apa yang terjadi didalam. Karena kalo yang di dalam yang diurusin, yang terjadi adalah ribut antarsuku.  Misalnya kepala suku kita Lalu Pharma yg orang Sasak. Kemudian jika disain Sasak ada yang digunakan oleh orang Pekalongan maka ribut mereka. Orang Pekalongan yang ada di Mataram bisa digorok.  Sebaliknya orang Mataram yg ada di Pekalongan. Ribut jadinya. Artinya apa? Ada problem disintegrasi manakala kita menggunakan pendekatan ini untuk melindungi warisan budaya.  Dan ini adalah satu problem yang cukup serius menurut saya.  Saya tidak melihat dalam RUU ini, fasilitas yang bisa diberikan oleh negara kepada siapa saja –termasuk negara/pemerintah sendiri- untuk melakukan aksi di luar negeri manakala di luar negeri terjadi masalah?

Rizaldi Siagian:
Apakah ini berarti bahwa RUU ini inkonsitusional?

Prof Agus:
Itu terserah abang saja. Monggo.  Bukan saya yang ngomong.  Kalau mau demo, silahkan.  Jadi apa yang harus kita lakukan? Kita coba fokus ke pengembangan saja.  Supaya apa? Seperti tari Wawa di Aceh setelah ada tsunami, hampir punah.  Audiensnya udah tidak ada.  Justru kita harus berterima kasih pada orang seperti bang Rizaldi yang mengangkat tari Hoho (dari Nias) dalam format modern sehingga menjadi lebih menarik dan enak ditonton orang. Siapa tahu tarian itu akan lebih hidup lagi di Nias sana.  Juga melestarikan.  Ini seharusnya masuk dalam pengaturan RUU ini kalau memang UU ini berniat melakukan perlindungan. Karena perlindungan bukan hanya mencegah tetapi juga melestarikan. Dan ini yang tidak ada dalam RUU ini.    Saya bisa ngomong gini dengan enak karena saya sudah tidak dilibatkan lagi dalam penyusunan RUU ini.  Kalau saya dilibatkan lagi, saya tidak bisa ngomong begini. Iya kan?  Ini fokus yang selama ini dilakukan pemerintah kita (perizinan).  Tidak salah.  Kita bisa mengatur juga tentang pemanfaatan yang baik seperti apa.  Perlindungan yang baik seperti apa? Tidak salah.  Tapi jangan membuat pengaturan yang bisa menimbulkan masalah di kemudian hari.  Kelihatannya RUU ini hanya membantasi pada pemanfaatan di luar konteks tradisi. 
Padahal, pemanfaatan di dalam konteks tradisi jauh lebih penting karena itulah yang akan berdampak pada pengembangan dan pelestarian.  Development warisan budaya itu sesuatu yang penting.  Warisan budaya adalah sesuatu yang dinamis yang hidup di masyarakat yang bersifat terbuka.  Artinya masyarakat sendiri tidak mau memenjarakan pengetahuannya, tetapi silahkan kepada orang lain untuk memanfaatkannya.  Hanya please, sebut! You memanfaatkan ini harus memberikanm penghargaan kepada masyarakat dari mana pengetahuan tsb berasal.  Dan akses, yang merupakan isu global.  Karena sifat terbuka masyarakat maka akses menjadi sesuatu yang niscaya. Tidak bisa dilarang-larang.  Kalau kita memenjarakan pengetahuan tradisional dan folklor, kita justru membunuh warisan budaya kita sendiri.  Jadi kita harus buka.  Kalao kita kembali pada isu utama yaitu akses dan benefit sharing maka warisan budaya akan semakin hidup dan berkembang jika memiliki audiens.  Bagaimana tari Hoho akan bisa hidup kalau tidak ada lagi yang menyanyikan, tidak ada lagi yang menarikannya? Audiens adalah orang-orang yang akan menggunakan atau menikmatinya.  Boleh saja orang bukan Nias memanfaatkannya.  Contohnya abang kita ini bukan orang Nias. Tapi dia bisa menginterpretasikan tari Hoho ke dalam format yang lebih indah, yang lebih layak tonton. Walaupun tidak berarti mengurangi keindahan dari aslinya.  Tetapi formatnya dibuat lebih sellable (bisa dijual).   Itu boleh saja.  Sebab kalo tidak begitu, bagaimana kita mengharapkan warisan budaya kita bisa mendunia? Kalo dimanfaatkan tidak boleh.  Audiens akan meningkat jika terjadi pengembangan atau peningkatan kualitas baik  substansi maupun bentuk. Peningkatan kualitas akan terjadi apabila  akses thd warisan budaya dibuka terhadap siapa saja baik pelaku, di luar maupun di dalam komunitas.  Cuma akses itu harus diawasi, terutama berkenaan dengan aspek hak atribusi masyarakat.   Reog ponorogo diklaim sebagai reog Malaysia.  Jangan! Orang Malaysia silahkan pakai Reog Ponorogo, tapi sebut Reog Ponorogo.  Karena boleh jadi orang Ponorogo pindah ke Malaysia. Orang Ponorogo yang pindah ke Malaysia tidak bisa dilarang untuk mengekspresikan Reog Ponorogo di sana. Orang Solo yg punya keahlian membatik pindah ke Malaysia.  Masak harus dilarang membatik di Malaysia? Cuma harus disebut.  Batik solo atau batik Yogya, walau dibuat di Malaysia.  No problem. Dengan begitu batik akan mendunia.   Kenapa? Karena dia diekspresikan oleh siapa saja yang ada di dunia.  Kita saja memainkan musik jazz dan rock, si Mark nggak marah.  Karena apa? Itu budaya mereka, tetapi sudah mendunia.  Kita tidak bisa mengharapkan folklor kita akan mendunia kalo kita kerangkeng dengan pembatasan-pembatasan yang tidak perlu.  Yang diperlukan adalah dipromosikan tapi juga dijaga harkat dan atribusinya.  Dengan demikian nanti ketika orang mengenal, mereka akan datang.  Ketika mereka datang, kita akan memperoleh manfaat.  Syukur-syukur dapat manfaat ekonomi.  Jadi ini sebetulnya isu utama yang harus diungkap dalam RUU ini.  Dalam RUU ini, hal itu sayangnya tidak ada!  Hal yang penting malah tidak ada dalam RUU ini. Problem RUU ini adalah hanya menggunakan pendekatan izin untuk akses ke pengetahuan tradisional sebagai mekanisme perlindungan.   Perizinan tsb diberikan oleh pemerintah baik pusat maupun daerah yang notabene adalah administrative body, yang bukan pemangku pengetahuan tradisional itu sendiri, bukan masyarakat yang mempunyai hak intrinsik terhadap karya itu. Problem akan muncul bagaimana jika masyarakat selaku pemangku pengetahuan tradisional itu tidak berkeberatan pihak lain mengakses pengetahuan tradisional karena akses itu kan bersifat terbuka? Tetapi oleh pemerintah tidak diijinkan karena tim ahli tidak memberi rekomendasi. Who is tim ahli yang akan menentukan ? Siapa yang akan menjadi anggota tim ahli yang akan memberikan rekomendasi (ijin).  Rizaldi Siagian? Agus Sarjono?  Kami tidak mengerti soal musik-musik yang ada di I Lagaligo dan sebagainya! Walaupun saya dianggap ahli, tetap tidak bisa. Karena saya tidak mempunyai kapasitas untuk memahami semua kebudayaan di Indonesia.  Oleh sebab itu, janganlah (izin) diserahkan ke administrative body.  Mekanisme perlindungan harus seperti apa? Kita pakai negative protection system  yaitu suatu sistem yang berupaya mencegah terjadinya tindakan-tindakan yang melawan hak dengan menggunakan unjust enrichment,   unfair bussines practicies.  Kita bisa bertanya ke pakar hukum internasional apakah sistem seperti itu bisa dilaksanakan? Ketika ada suatu praktek pelanggaran di luar negeri kemudian pihak diplomatik kita mengatakan you jangan melakukan itu!  You sudah menggunakan warisan budaya kami yang you klaim sebagai budaya Anda, you klaim sebagai monopoli anda, tidak bisa!. Misalnya dengan mendaftarkan katalog.  Ini ada cerita mengenai ukiran Jepara.  Orang Inggris mendaftar katalog.  Seharusnya Dirjen Haki melihat, kok katalog didaftar oleh orang Inggris? Padahal katalog ini isinya adalah folklor Jepara. Sudah dapat ijin belum untuk memuat itu dalam katalog? Ini jika kita mau konsisten dengan isi pasal 10 RUU ini.  Paling tidak didaftar.  Jika sudah didaftar, bisa dijadikan alat bukti.  Artinya, (ukiran) ini sudah punya kami.  Walau ini salah.   Yang jadi masalah, orang Jepara akhirnya tidak bisa mengekspor produknya ke Eropa.  Kenapa? Karena katalog udah didaftar atas nama orang Inggris.  Ya boleh silahkan ukiran Jepara masuk, tapi bayar royalti ke kami.  Dan ini sudah menjadi keluhan orang Jepara.    Saya sering mengkritik: Harusnya pemerintah RI melindungi  pelanggaran ekspresi komunitas tradisi yg terjadi di luar negeri. Seharusnya kan pemerintah yang aktif untuk melakukan tindakan untuk melindungi warisan budaya Indonesia di luar negeri.  Saya sering mengkritik masalah ini makanya saya tidak disukai.    Atau bagaimana apabila terjadi masyarakat pemangku EBT tidak setuju tapi administrative body memberi izin? Kita ambil contoh naskah I Lagaligo.  Orang Makasar sendiri mungkin sudah tidak bisa baca naskah ini.  Tapi kemudian ada teman Mark yang mengangkat itu kedalam bentuk pementasan.  Ini adalah suatu contoh pemanfaatan EBT di luar tradisi, pemanfaatan yang bertujuan komersial. Menurut RUU ini, harus terlebih dahulu minta ijin ke pemerintah Indonesia.  Walaupun kalo kita lihat, dampak pementasan I Lagaligo ini  sangat positif.  Kami lihat di Makasar muncul proyek revitalisasi. Anak-anak kecil di Makasar mulai diajari bagaimana membaca naskah I Lagaligo. Artinya apa? Dengan adanya pementasan itu, audiensnya bangkit kembali dari kubur. Hanya mungkin ada problem.  Misalnya waktu memilih artis, ada yg mengatakan artisnya harus orang Makassar bukan orang Jawa. Karena yg pinter orang Jawa. Tapi, artinya pemanfaatan EBT ternyata bisa menimbulkan dampak positif bagi perkembangan EBT. Ini adalah contoh bentuk-bentuk pengembangan yang bisa dilakukan.  Kondisi idealnya bagaimana?  Ini mulai masuk pemikiran saya.
1.      Pengetahuan tradisional & ekspresi budaya tradisional semakin berkembang , baik secara kualitas maupun kuantitas, maupun perluasan audience maka pengembangan merupakan keharusan jika ingin menjadikan PT & Folklore menjadi sumber ekonomi baru.
2.      Pengembangan (development) PT & Folklore memerlukan perluasan audience, syukur-syukur  mendunia, sebagaimana kebudayaan pop.  Dengan cara apa? Melalui promosi dan perluasan akses.  Dalam RUU ini, akses malah ditutup dengan adanya rezim perizinan. Mengapa bisa begini? Karena pendekatan yang digunakan adalah pendekatan HAKI.  EBT seharusnya tidak bisa dipaksakan menggunakan pendekatan Haki.  
3.      Pengembangan dan penggunaan/pemanfaatan PT & Folklore harus membawa dampak positif bagi masyarakat pemangku (custodian).  Apapun bentuknya; bisa dimanfaatkan secara ekonomi, disukai banyak orang dll. Contohnya batik di Singapura dan Malaysia sudah kelihatan disukai. Di Afrika Selatan Nelson Mandela memakai kemeja batik.  Tapi apa itu batik dari Indonesia? Belum tentu! Karena di Afsel juga ada batik.  Bahkan ada cerita dari ketua Yayasan Batik Indonesia waktu ada kongres batik di New York ada tim dari Zambia mengirimkan wakil lebih dari 1 orang.  Malaysia mengirimkan 15 orang.  Dan itu semua dibayar negaraa.  Indonesia sebagai negara asal batik mengirim hanya 1 orang! Dan biaya sendiri. Apa artinya? Tidak ada kepedulian pemerintah terhadap warisan budaya kita sendiri supaya batik lebih dikenal. 
4.      Dampak positif dapat diwujudkan melalui penyebutan sumber (disclosure of origin) sebagai bentuk pengakuan, peningkatan gairah masyarakat untuk kembali kepada kebudayaan sendiri (self confidence), peningkatan kesejahteraan ekonomi melalui pemanfaatan PT & Folklore sebagai sumber ekonomi baru (benefit sharing from the use of TK & F). Dampak positif dari penyebutan sumber.  Misalnya penggunaan kosmetik A itu asalnya dari Jawa, berasal dari penggunaan brotowali misalnya. Ini upaya untuk mengangkat pengetahuan tradisional Jawa tentang kosmetik itu lebih canggih dari pengetahuan obat-obatan modern.  Hak patennya sudah ada.  Saya punya daftarnya.  Disclosure of origin merupakan sesuatu yang penting.  Tetapi aneh bagi saya kenapa Ditjen HKI nggak suka dengan ini?  Alasannya nambah kerjaan.  Karena harus memeriksa kan?  Saya nggak ngerti jalan pikirannya.  Peningkatan gairah masyarakat untuk kembali ke budaya sendiri adalah suatu contoh upaya-upaya yg penting untuk dilakukan.  Peningkatan kesejahteraan ekonomi dapat dilakukan dengan pemanfaatan warisan budaya sebagai sumber ekonomi baru.  Ini yg disebut benefit sharing from the use of TK & F dalam wacana internasional.  Hal diatas adalah kondisi-kondisi ideal yang seharusnya menjadi arah dari RUU ini.
5.      RUU ini jangan hanya membatasi pada aspek pemanfaatan dan perlindungan saja (dengan menggunakan pendekatan HKI) tapi tidak meninggalkan aspek pengembangan dan pelestarian EBT itu sendiri (promosi dan revitalisasi).  Supaya apa? Supaya hidup.
6.      Perlindungan tidak harus berarti memenjarakan PT & F, melainkan juga mencakup peningkatan pemanfaatan untuk tujuan kesejahteraan masyarakat pemangku dan peningkatan self confidence. Misalnya peningkatan kepercayaan diri akan mutu dari warisan budaya kita sendiri. 
7.      Perlindungan juga harus berdampak positif pada pelestarian nilai-nilai, baik nilai spiritual maupun integritas PT & F sebagai bagian dari masyarakatnya. Seharusnya, yang mengangkat harkat seni budaya indonesia adalah orang Indonesia sendiri.  Kenyataannya yang terjadi sebaliknya.  Contohnya Jill dari Amerika mengangkat seni tenun tradisional Indonesia. Kemudian ada William Inghram dari Bali yang melestarikan pewarnaan alami terhadap kain tenun. William adalah orang Inggris.  Kemana orang Indonesia? Jadi harusnya kita yang mempromosikan bukan kita yang memenjarakan warisan budaya itu.  
8.      Dokumentasi dan sistem perlindungan harus mengarah pada kondisi ideal tersebut.  Tadi pak Solo mengatakan dokumentasi EBT Indonesia mau didaftarkan di WIPO.  Untuk apa? Bahkan orang WIPO sendiri mengatakan ngapain didaftarkan? Untuk apa didaftarkan di WIPO? Supaya bisa diambil secara gratis oleh orang luar??? (Solo Sirait: itu untuk pembuktian).  Pembuktian kalo kita hendak melakukan penuntutan ke luar negeri.  Kalau tidak, buat apa? Saya setuju untuk pembuktian dengan catatan ada fasilitas kepada negara/siapa saja yang hendak melakukan penuntutan terhadap pihak-pihak di luar negeri yang melakukan tindakan secara melawan hak.  Kalau tidak untuk itu, so what gitu lho? 

Harusnya bagaimana untuk mencapai semua kondisi di atas?
1.      Roh Konstitusi tidak boleh diabaikan: “Negara melindungi segenap tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa”.  Ini yang sering kita lupakan.  Bagaimana penerapannya? Lihat poin 2.
2.      Dasar falsafah UU PPPT & EBT adalah spirit Konstitusi, semangat ke-Indonesiaan, dan bukan falsafah kekayaan intelektual/individualistik.  RUU pengetahuan tradisional didekati dengan penggunaan falsafah HAKI.  Bahwa disana ada HAKI saya setuju.  Tapi apakah perlakuannya harus dengan HAKI? Belum tentu! Kita sudah buktikan tadi ketidakcocokannya di beberapa tempat.
3.      Norma UU PPPT & EBT tidak boleh berhenti hanya sampai pada penggunaan lembaga perijinan oleh administrative body, tetapi harus lebih luas mencakup pelibatan segenap komponen bangsa, khususnya pada ranah pengembangan, promosi, dan pelestarian pengetahuan tradisional dan ekspresi kebudayaan itu sendiri.  Jadi RUU ini harus memberikan dorongan pd masyarakat untuk meningkatkan PT dan EBT.  Artinya apa? Kalau UU memberikan fasilitas kepada warga negara untuk mengambil suatu tindakan yang dibantu pemerintah, ini luar biasa.  Saya ada dokumentasi hasil penelitian.  Di Cina bagian barat ada kota yg terkenal dengan layang-layang tradisional.  Pemerintah disana berupaya agar turis datang karena layang-layang tsb. Misalnya dengan membuat festival, mengundang mengundang tamu .  Contoh lain tradisi-tradisi Cina juga diajarkan disekolah-sekolah dasar.  Di kita bagaimana?  Di Nias, apakah ada pengajaran ttg tari Hoho? Di Bogor apa ada pengajaran musik khas Sunda, Calung, untuk anak-anak SD?  Ini upaya pemerintah yang dilakukan lewat sistem pendidikan.  Bagaimana kita bisa berbangga dengan budaya sendiri kalo kita tidak tahu budaya itu? Kalau kita tidak bisa menilai kualitas budaya kita sendiri.  Malah kita impor budaya dari luar.
4.      Harus ada mekanisme perlindungan untuk mencegah dan menanggulangi pemanfaatan PT & EBT di luar negeri secara melawan hak (instrumental norm).  Perlindungan yg pas dengan konstitusi (UUD) adalah perlindungan terhadap pelanggaran hak EBT yang terjadi di luar negeri.  Saat ini yg diurus adalah pendaftaran EBT di dalam negeri.  Hasilnya ribut antar antar daerah, ini sudah terjadi.  Di Solo, ada batik yang didaftarkan atas nama Pemda Surakarta.  Saya melihat sertifikatnya didaftar oleh Ditjen HAKI.  Penciptanya koperasi. Pemegang haknya Pemda Surakarta.  Ini proyek Deperindag. Hitungan saya ada sekitar 300-an kasus seperti ini.  Ini mengerikan. Pertanyaannya: siapa yang boleh menggunakan disain (batik) tsb? Orang yg ber-KTP Klaten, nggak bisa. Wah gawat ini.  Ini akibat penggunaan sistem HAKI untuk melindungi warisan kebudayaan, yang nature-nya sebetulnya berbeda.  Tapi  ini sudah terjadi.  Ya terima kasih aja.  

Pharma (moderator):
Kita bisa diskusi lebih mendalam karena sekarang hadir peserta dari berbagai latar belakang.   Hal penting, hingga saat ini, penyusunan RUU ini belum melibatkan budayawan, pemangku adat.  Silahkan tanggapan dari Pak Solo?

Solo Sirait:
Menanggapi kritik Prof Agus tentang beberapa kelemahan RUU ini. Terutama penggunaan konsek HAKI dalam RUU ini. Pada dasarnya saya sependapat dengan Bapak.  Soal spirit RUU ini saya pribadi tidak setuju.  Masalahnya, saya tidak dilibatkan dalam tim yang menyusun RUU ini. Betul kata pak Sarjono bahwa RUU ini adalah mengadopsi regime dari hak Cipta.  Menanggapi Pak Agus: mengapa tidak terlihat pengembangan dan pelestarian dalam RUU ini?  Menurut saya itu tidak perlu diatur dalam RUU ini. Karena EBT/folklor itu sudah dikembangkan, sifatnya sudah menjadi ekspresi budaya kontemporer, sehingga tidak perlu lagi diatur dalam RUU ini karena sudah masuk regime hak cipta.  Mengenai pelestarian, kan ada UU Cagar Budaya? Pemanfaatan warisan budaya/EBT oleh orang asing menurut saya perlu ada izin, perlu semacam lisensi begitu. Bagaimana dengan pemanfaatan EBT oleh orang Indonesia?  Saya pernah katakan, jangan sampai dengan RUU ini terjadi perang suku. Saat saya sosialisasi RUU, soal perlunya ijin itu malah merupakan permintaan dari daerah (Pemda). Padahal menurut pasal 10 UU Hak Cipta, pengetahuan tradisi yang sudah menjadi milik bersama bangsa Indonesia, tidak perlu kita minta ijin. Cukup menyebutkan indikasi asalnya.  Pemanfaatan oleh orang Indonesia, ijin tidak perlu tapi seperti kata Pak Agus, pemanfaatan itu harus menyebutkan indikasi asal geografisnya. Intinya saya sependapat dengan pak Agus, bahwa RUU ini akan menimbulkan banyak persoalan di masyarakat. 

Pharma:
Memang sejak awal penyusunan RUU ini, muncul banyak perdebatan antar daerah.  Ada komentar dari budayawan? Siapa yang mau komentar? Saya minta Bang Rizaldi Siagian.

Rizaldi Siagian:
Pak Sirait, horas.  Karena saya pemusik, saya ingin menyanyi sebuah lagu dari Aceh yang sangat populer.  Saya akan kaitkan dengan pasal 3 poin d RUU ini. Lagunya begini.  Lagu ini nadanya minor. (bernyanyi) Kalo dinyanyikan mas Lalu, akan mirip orang Aceh, karena tangga nadanya sama (minor).  Sehingga masih dianggap patut.  Tapi kalo sampai ke kampung Pak Sirait dan saya, di seni musik Batak seperti Gondang itu, tidak dikenal tangga nada minor. Lalu yang terjadi bunyinya kayak begini (bernyanyi).  Orang Aceh akan tersinggung berat jika mendengar lagu mereka dinyanyikan seperti itu. Karena itu sudah melanggar kepatutan.  Ada orang Batak yang menyatakan menghormati budaya suku lain, akhirnya masuk penjara karena UU ini.  Padahal dia tidak sengaja.  Sistem budayanya berbeda.  Dia tidak mempunyai tangga nada minor.   Kalau anda perhatikan lagu Batak yang sedih seperti Butet, tidak menggunakan tangga nada minor. Khususnya Batak Toba, beda dengan Karo.  Begitu jg kalo orang Bali menyanyikan lagu Indonesia Raya, pasti berubah.  Tapi, bukan berarti orang itu sengaja bermaksud menyinggung.  Apakah itu patut atau tidak patut? Dalam dunia kesenian, hal-hal seperti ini akan sangat menyinggung perasaan.  Orang bisa berkelahi karena ini.  Itu salah satu contoh yg konkrit dari sini.  Pak Sirait mengatakan nafas RUU ini adalah hak cipta/HAKI.  Anehnya kira-kira bulan April lalu, teman saya Abdon Nababan pergi ke konperensi di New York.  Di sana WIPO (yang menjadi kiblat Republik ini) membuat pernyataan di dalam satu sidang yang berkaitan dengan masyarakat adat: WIPO akan mempelajari konsep-konsep hukum adat.  Di RUU ini, tidak dihargai yang namanya hukum adat.  Bung Agus tadi menjelaskan secara rinci yaitu masalah perijinan.  Siapa sebenarnya yang berhak memberikan ijin? Bayangkan bila di daerah terpencil, kepala dinas kebudayaan baru tamat S1.  Dialah yang akan menentukan bisa diberi ijin atau tidak.  Bagi saya sebagai pemusik, ini penghinaan.  Apalagi bila saya sebagai orang Batak akan memainkan Gondang Haro-haro itu harus minta ijin sama entah siapa? Kepada Pemda Tobasa? Siapa itu Pemda Tobasa hingga dia bisa berkuasa secara adat?  Apakah dia yg merupakan penguasa adat? Bahkan Raja Parmalin pun tidak berani mengatakan itu. Raja adat tidak akan berani melarang orang memainkan musik Batak.   Tiba-tiba seorang PNS bisa menentukan apa yang boleh dan tidak.  Kalo senimannya marah, bagus, karena berarti ada perlawanan.  Yang bahaya, dan ini yg sering terjadi, masyarakat diam dan membiarkan.  Maka selesailah kebudayaan ini.  Kalao saya marah masih bagus.  Tapi kalo saya diam, ini lebih gawat.  Jadi sekarang sudah tidak punya etika lagi. Bagi saya RUU ini tidak konstitusional.  Bung Agus sudah membuktikan tadi. Apakah anda sependapat dengan saya, terserah anda.  Saya harap anda sependapat.  (Agus: apa perlu demo ke istana?) Belum perlu karena ini masih RUU, kalau sudah jadi UU baru kita demo.   Saya menghormati apa yang telah dihasilkan Pak Siarait dkk karena mereka telah menunjukkan kecintaannya kepada budaya kita.  Perbedaannya mereka yang membuat RUU ini adalah birokrat.  Yang paling celaka adalah ketika sekarang sudah banyak digunakan pendekatan NPM (manajemen publik), RUU ini malah mundur menggunakan pendekatan OPA (Out Public Account...) yang sudah dibuang oleh negara-negara maju.  Saya bisa ngomong gini setelah baca buku Fadel Muhammad.  Dia bisa mengembangkan Gorontalo yang minus.  Karena dia berani memangkas birokrasi dari 46 meja menjadi 2 meja saja.  Kalau dengan RUU ini, berapa meja yang harus dilalui untuk mendapatkan ijin Gondang Batak? Mengerikan kali ini bah!  Banyak kali ijin yg harus diminta.  Orang Batak aja kalo mau menebang pohon kayu tidak perlu minta ijin pada kepala adat.  Sudah ada aturannya.  Ini harus pake surat kita.  Macam mana kita buat RUU seperti ini? Kesimpulan saya, apabila RUU ini diterapkan kesenian tradisi akan mati....! Jelas.  Karena mengubah (kesenian tradisi) itu bisa diinterpretasi secara berbeda.  Kan ada istilah ”pengubahan” dalam RUU ini.  Apa ada kesenian tradisional yang tidak dipengaruhi oleh kesenian lain?  Tidak ada.  Jangan melihat literatur kebudayaan.  Lihatlah literatur hukum.  Disana akan banyak diketahui soal peniruan dari satu karya besar oleh pihak tertentu.  Saya apresiasi dengan apa yang sudah dilakukan teman-teman di birokrasi tapi saran saya, seperti yg ditulis dalam Quran, kalo bikin sesuatu tanyakan dulu pada yang ahli.  Yang terjadi, para ahli ditinggalkan.  Seperti ahli-ahli adat tidak dilibatkan dalam penyusunan RUU ini.    Kebanyakan kan usulan yang ditampung hanya dari Pemda.  Bukan ahli adat, bukan intelektuaalnya.  Contoh kasus tentang musik dayak Iban dikaitkan dengan perijinan.  Kalo mencakup 1-2 provinsi, ijin harus melewati 2-3 instansi.  Dayak Iban itu hidup di Indonesia, Malaysia dan Brunai.  Kepada siapa mereka harus minta ijin? Ini kan kacau? Jika kita kaitkan dengan RUU ini, tidak akan berlaku.  Karena dalam hukum internasional, yang dikenal adalah public domain.  Apakah kesenian tradisional masyarakat Dayak Iban yang hidup di Malaysia milik Indonesia?
Intinya kalo RUU ini diterapkan, lewatlah tradisi kita.   

Tisnaya (ahli hukum internasional):
Selama 12 tahun saya berlanglangbuana di Perancis.  Kritik yang tadi disampaikan sudah tepat.  Menurut saya ada 2 problem yg lebih mendasar.  Payungnya adalah UUD 45.  Pertama adalah persoalan proses amandemen.  Yang kedua adalah law making process dari RUU ini.  Terlalu sempit kalau payung yang digunakan adalah HAKI.  Jangan lupa HAKI itu properti, kepemilikan.  Sedangkan substansi yg diatur disini adalah kebudayaan, jadi terkait masyarakat adat. Saya masuk ke beberapa kasus ke daerah ibu saya di Minangkabau.  UUD kita belum mendefinisikan apa itu kebudayaan Indonesia?    Dan saya pinjam dari guru besar, senior saya yang sudah meninggal, Denny Lombar, tesis doktornya, Apakah itu Indonesia? Itu adalah space of civilization.  Dalam format untuk membuat RUU ini, UUD 45 sendiri belum memuat itu.  Indonesia adalah benua air.  Ini paradigma baru yang saya kembangkan dalam visi Indonesia Raya.  Atas dasar itu baru kita bisa berhadapan dengan semua konvensi internasional yang ada di UNESCO on cultural dan heritage protection.  Inilah payung yg harus ada kalo kita mau merancang RUU ini.  Yang kedua, Indonseia sangat ketinggalan.  Bulan Februari lalu saya mendapat scholarship award. Topiknya adalah the cultural heritage protection.  Banyak konvensi di UNESCO yang belum kita inkorporasi.  Masih ada banyak kekurangan dalam konsiderans RUU ini.  Daftarnya banyak.  Pada skala ASEAN kita juga punya konvensi tapi masih sumir,belum detil.  Saya mendukung Prof Agus bahwa di dalam law making process RUU ini harus ada keseimbangan antara public internal law dengan international law.  Yang bapak lakukan adalah pekerjaan historis untuk keselamatan kebudayaan kita sekarang dan ke depan.  Kami siap membantu.  Kesimpulannya: dari segi birokrasi mestinya penyusunan RUU ini lintas departemen. Tapi ini saja tidak cukup.  Ada juga aspek UU Cagar Budaya.  Dengan kata lain, payungnya tidak terbatas pd Haki.  Haki adalah kepemilikian dari segi legal.  Kalo kebudayaan lebih luas lagi.  Rekomendasi saya, buatlah seminar yang terbuka dan transparan mengenai RUU ini.  Karena kita sudah ketinggalan, padahal RUU ini adalah momen historis yang penting. 

Pharma:
Kami ucapkan selamat datang kepada Pak Soultan Saladin. Selanjutnya saya mohon kesediaan Ibu (Maria).



Maria Dharmaningsih (IKJ):
Kalau nanti RUU ini disahkan, pertanyaan saya sebagai pengajar tari Jawa dan Yogya di jurusan tari IKJ: saya harus minta ijin ke mana? Kemudian mbak Wiwik Sitala mengajar tari Sulawesi harus minta ijin ke mana?

Prof Agus:
Menurut RUU ini kalo konteksnya mengajar, tidak perlu ijin karena bukan kegiatan komersial.

Maria:
Kalau saya membawa rombongan kesenian untuk pementasan di luar negeri bagaimana? Kami membawakan tari dari berbagai daerah Nusantara.  Rasanya kesenian Rasanya akan banyak persoalan yang muncul dengan penerapan RUU ini. Bagaimana kesenian akan berkembang kalo semakin banyak pembatasan?  Kayaknya kesenian bisa mati. 

Mark:
Saya terkesan dengan apa yang dibicarakan di sini.  Saya baru belajar UU Haki di Indonesia.  Saya sudah belajar UU HAK Cipta di USA. Pada umumnya tujuan dari pemberlakuan sistem HAKI adalah  untuk membentuk/menciptakan pasar. Dalam pasar kekayaan intelektual, kecenderungan yang terjadi adalah ada sedikit orang yang menjadi kaya raya, tapi banyak orang yang melarat.  Efeknya, memicu ketidakseimbangan pendapatan antara pelaku-pelakunya.  Bagaimana kita menyeimbangkan hal itu?
Pak Sirait bilang, kalo suatu pengetahuan tradisi sudah dikembangkan, itu di luar pengaturan RUU ini, masuk rejim HAKI (karya individu). Adapun pengetahuan tradisional biasanya tidak dikenal penciptanya. Pemanfaatan pengetahuan tradisional biasanya spt dalam prosesi adat dsb.  Sedangkan hak kekayaan intelektual dimanfaatkan untuk kepentingan komersial.  Dalam kenyataan di lapangan, sebetulnya sulit sekali untuk membedakan kesenian yg murni tradisional dan kesenian tradisional yg sudah dikembangkan.  Saya beberapa tahun belajar di Jawa Tengah. Ada seorang seniman yang menjadi populer karena produk kerajinannya.  Apakah ini dilindungi oleh RUU? Atau diaturnya di mana?  Saya tertarik dengan masalah hak cipta. Saya juga pernah kenal  dengan seorang pemusik Batak.  Tiba-tiba ada orang lain yang mengklaim sebagai ahli waris pencipta karya musik yang dimainkan pemusik tersebut. Orang tersebut memegang sertifikat dari Ditjen HAKI. Sehingga si pemusik harus membayar royalti ke ahli waris tsb. Intinya, kalau penciptanya diketahui, apakah dilindungi RUU atau tidak?

Pharma:
Diskusi ini menarik sekali.  Saya kenal Suryati, direktor acara Sejuta Warna.  Sebelum pementasan suatu karya Sasak, seniman tsb sungkem dulu dengan majelis adat Sasak.
Kita lanjut ke teman Jepara atau Dayak?



Supia:
Ada pengalaman kami terkait HAKI dan komunitas.  Kami mendampingi masyarakat Dayak Iban.  Kasus yang kami rasakan adalah adanya penggandaan corak tenun ikat Dayak Desa di tempat lain untuk produksi massal. Yang terjadi adalah Pemda membuat batik dengan corak tenun ikat Sintang (Dayak Desa). Padahal terkait penggunaan corak tenun , ada banyak aturannya. Bahkan ada motif-motif tertentu yg masih disakralkan. Setelah diproduksi massal, karena tidak ada keterangan, muncul ketersinggungan dari masyarakat adat.  Batik tersebut diproduksi secara besar-besaran (ditroso) dengan mesin (sehingga proses hanya 1 hari) dan dijual dengan harga murah. Sedangkan produk tenun masyarakat adat harganya relatif mahal karena proses produksinya yang lama.  Bahan pewarna yang digunakan masih alami.  Secara bisnis, terjadi persaingan yang tidak sehat.  Masalah yang kami lihat disini: (1) penggunaan motif itu tidak menyebutkan sumbernya sebagai bentuk penghargaaan thd masyarakat Dayak Iban. Hak cipta malah dimiliki oleh Pemda Sintang, bukan masyarakat Dayak. (2) Belum tentu masyarakat Dayak bisa menerima penggunaan corak tenun itu untuk produksi massal. Terkait ijin, sulit karena komunitas adat Dayaak Desa tsb tersebar di banyak tempat.  Bisa-bisa terjadi perang antar suku.  Teman Anas bisa menambahkan.

Anas:
Salah satu ilustrasi yang menarik adalah soal budaya menyambut tamu di beberapa komunitas Dayak.  Misalnya tradisi potong umpang. Dulu hanya ada di beberapa komunitas Dayak.  Sekarang hampir semua komunitas Dayak melakukan ini.  Demikian juga dengan corak tenun.  Antara Dayak Iban dan Dayak Kantu, sangat sulit dibedakan mana motif Iban, mana bentuk Kantu.  Yang dikatakan perang antar suku tadi memang sangat mungkin terjadi kalo ada salah satu pihak yang mengklaim sebagai pemilik.

Pharma:
Bagaimana dengan Jepara?

Didit:
Tadi sudah disebutkan soal katalog ukiran Jepara.  Kasus Jepara, bermula dari pendaftaran katalog ukiran Jepara oleh orang Inggris.  Kemudian ada klaim hak cipta atas isi katalog tersebut dari seorang Belanda.  Orang Belanda kemudian disomasi sampai ke tingkat pengadilan.  Sampai orang itu dipenjara.  Ternyata setelah kami telisik lebih jauh, ternyata sebelum ada konflik antara orang Inggris dan orang Belanda tersebut,  ada orang Jepara yang dilaporkan ke Polres Jepara dengan tuduhan menjiplak hak cipta disain yang diklaim orang Inggris tersebut.  Ini sangat menjengkelkan dan saya sangat kasihan pada orang yang dilaporkan ke polisi itu karena sejak pertengahan tahun 2005 sampai hari iini tidak bisa kerja.  Bahkan produknya berupa......itu menumpuk sebanyak 2 kontainer kayak sampah.  Rumahnya nggak jadi.  Karena ketakutan.  Bahkan ada satu hal lagi, ada salah satu pengusaha ukiran Jepara yang mengadu ke kami.  Dia kedatangan orang asing yang meminta gambar-gambar produknya.  Kemudian dikirim ke Yogya.  Setelah dikirim, ternyata sama persis dengan yang ada di katalog orang Inggris tadi.  Akibatnya produknya ditolak karena dianggap produk orang Inggris tersebut dianggap lebih sah.  Setelah mengetahui itu, kami datang ke beberapa pengrajin kayu ukiran Jepara, ada sekitar 120 orang pengrajin yang kami datangi.  Kami juga membawa katalog milik orang Inggris tadi.  Kami menanyakan apakah bapak pernah bikin produk seperti ini?  Mereka mengaku sudah pernah membuat produk tersebut.  Bahkan pada tahun 1998 itu sudah muncul katalog yang coraknya hampir sama dan itu tidak ada pemiliknya.  Ketika saya tanya, siapa pak pencipta produk bercorak ini ? Jawabnya tidak tahu.  Saya tahunya dari kakek saya.  Sayang, ketika kami datang ke kantor Ditjen Haki, kami udah 4 kali datang kalo tidak salah, kami hampir berantam dengan Dikson Sitorus. Muka saya sampai dituding  oleh Dikson Sitorus itu.  Alasan Ditjen Haki, apa yang diklaim orang Inggris itu adalah katalog, bukan hak cipta disain produknya.  Harapan saya Ditjen Haki bertanggung jawab atas pendaftaran katalog tsb karena telah diinterpretasikan berlebihan oleh pemiliknya sehingga merugikan masyarakat Jepara secara menyeluruh.  Kenapa kami sampai hampir ditempeleng oleh Dikson Sitorus itu,  karena kami mengatakan okelah buku katalognya didaftarkan cuman ....(tidak dilanjutkan).  Dalam buku katalog itu tidak disebutkan asal disainnya dari mana.    Kami mengetahui kenapa orang Inggris ini mengklaim memiliki hak cipta atas produk dalam katalog itu karena somasi yang dikirimkan ke pengadilan dan laporan ke polisi.  Semua bukti itu sudah kami dokumentasikan. Hingga saat ini, kasus kami masih dalam proses penyelesaian, hanya masih ada benturan dari birokrasi karena adanya jawaban dari Ditjen Haki bahwa hak cipta yang dimiliki orang Inggris adalah hak cipta atas buku katalog sehingga kita tidak kecolongan.  Jadi menyesatkan.  Saya jadi bingung. 

Agus:
Ada tulisan yang mengungkapkan kesalahan pendaftaran itu. Ada kerancuan antara rezim hak cipta dengan rezim disain.  Yang didaftar adalah katalog sebagai hak cipta tapi yang diklaim adalah disainnya. 

Didit:
Perkembangan terakhir ketika persidangan di PN Semarang, yang melibatkan Ditjen Haki sebagai tergugat II,  itu ternyata ketika Haki datang ke pengadilan dan di depan penyidik dari Polda, Ditjen Haki mengaku bahwa berkasnya hilang.  Ini yang parah pak.  Ini suatu pelecehan terhadap ekspresi budaya masyarakat Jepara.  Kenapa berkas bisa hilang? HAKI kan bukan OTB.  Kami sangat tersinggung sebagai masyarakat Jepara.  Ada masyarakat Jepara yang masih disembunyikan karena takut disomasi oleh si orang Inggris tadi.   

Soultan Saladin:
Pertama, secara legal, apakah bisa orang asing mendaftarkan suatu katalog yang isinya tentang produk kebudayaan kita? Kenapa bisa terjadi? Kedua, advokasi anda sudah benar, silahkan diteruskan saja.

Pharma:
Silahkan yang lain?

Hanim (IGJ/Konphalindo):
Berbagai masalah terkait pendaftaran yang terjadi di luar sebenarnya sudah sejak lama terjadi.  Contohnya produk EYE SHADOW itu didaftarkan di kantor paten Jepang.  Kemudian dibatalkan karena adanya kampanye internasional saat itu untuk membatalkannya.  Saya sendiri juga heran bagaimana peran Ditjen Haki dalam permasalahan semacam itu.  Pernah juga ada konflik antara pengrajin perak Indonesia dengan seorang asing yang tinggal di Bali. Ada wanita Bali yang melakukan ekspor produk kerajinan perak ke New York.  Dia bersuami orang Amerika dan tinggal di Amerika.  Wanita ini digugat oleh lawan bisnisnya di Amerika karena dia dianggap melanggar disain yang sudah didaftarkan di Amerika Serikat.  Padahal menurut pengrajin perak Ubud tersebut, disain yang dia buat adalah disain masyarakat Bali dan bukan disain orang Amerika.  Tapi karena dia tinggal di New York, dia menyewa pengacara AS dan akhirnya mereka berdamai. Itu kasus pengrajin Ubud Bali yang tinggal di Amerika.  Bagaimana kalo dia tinggal di Bali dan hendak mengekspor ke Amerika? Karena dia tinggal di AS, dia punya kapasitas menyewa pengacara di AS.  Bagaimana dengan kapasitas pengrajin-pengrajin Bali yang lainnya?  Masalahnya, selama ini misaprosiasi dan misuse terjadi di luar negeri, dan UU kita tidak bisa menjangkaunya. Karena itu, untuk tingkat internasional, negara-negara di dunia biasanya melakukan perundingan-perundingan di tingkat internasional dengan harapan bisa melindungi sesuatu yang berada di luar jangkauan mereka.  Karena walaupun kita menyusun satu UU, entah UU Paten atau RUU ini, itu tidak bisa menjangkau yang terjadi di luar negeri.  Bahkan yang terus terjadi adalah penggunaan/pencurian produk masyarakat lokal kemudian dipatenkan/didaftarkan hak ciptanya di luar negeri oleh orang asing. Sehingga kita mengalami kesulitan akibat pendaftaran produk itu.  Perundingan terkait pengetahuan tradisional dan sumberdaya genetik yang terkait dengan pengetahuan tradisional, masih berlangsung.  Ada harapan thd forum-forum internasional seperti WTO, WIPO, konvensi keanekaragaman hayati di PBB. Di konvensi kehati PBB misalnya, kelompok negara-negara berkembang mengharapkan adanya akses, pengakuan dan benefit sharing dari penggunaan sumber daya genetik yang terkait dengan pengetahuan tradisional atau dari sumber daya genetik saja. Benefit sharing diberikan pada komunitas masyarakat pemiliknya.  Forum WIPO juga masih berlangsung.  Perdebatan yang mengemuka adalah apakah kita perlu melindungi ekspresi/pengetahuan tradisional dengan cara HAKI?    
Kalau WIPO kan perspektifnya perlindungan atas Hak Kekayaan Intelektual (pemilikan individual).  Jika perlindungan pengetahuan tradisional ingin mengadopsi perlindungan HAKI akan terjadi ketidakcocokan. Karena model HAKI adalah model yang dikembangkan di negara-negara maju.  Yang belum dilakukan adalah eksplorasi model-model perlindungan di luar regime HAKI.  Negara kita cenderung mengikuti kecenderungan model perlindungan di tingkat mainstream (arus utama) yaitu HAKI konvensional. 

Didit:
Mendaftarkan hak cipta itu boleh atas nama badan hukum atau tidak?

Solo:
Boleh....

Waspo:
Saya ingin menambahkan 2 hal sbg bahan diskusi.  Pertama, saya bertemu dengan orang Distan Kab. Gunungkidul yang berupaya mendaftarkan varietas padi merah khas Gunungkidul. Ketika saya tanya ke petani memang jenis padi itu dari dulu sudah ditanam. Prosesnya seperti apa dengan mbak Anik yang mengawal itu? Kegiatan ini merupakan bagian dari program pendaftaran varietas lokal dari Distan setempat untuk berbagai komoditi.  Saya melihat ini positif untuk melindungi petani yang menanam, karena kalau terdaftar kan, kalo palsu bisa dituntut.  Tapi jika terjadi kasus seperti Kediri, saya belum tahu solusinya jika terjadi klaim oleh pihak lain terhadap petani yang memproduksi. Perlu didiskusikan lebih dalam. Kedua, ngobrol dengan teman di Solo, ada kasus mebel ukiran Jepara dibeli orang, kemudian mebel diproduksi secara massal di Cina dengan bahan baku fiber. Ketika dipajang bersama-sama, kita tidak bisa membedakan mana produk yang berbahan baku kayu dan mana yang fiber. 

Solo Sirait:
Menanggapi Bapak Siagian soal ekspresi budaya batak.  Saya juga sekjen pengurus adat marga Sirait se-Jabotabek. Film yg dipertunjukkan tadi, menurut saya sudah ada pengembangan karena alat musik yang digunakan ada yang bukan alat musik Batak.  Kalau musik Batak alatnya cuma gondang.  Berarti di sini sudah ada pengembangan.  Saya tanya, kalau saya merekam musik gondang Bapak dan saya jual ke orang lain apakah Bapak keberatan?  Pengembangan budaya itu ada yang temporer dan kontemporer.  Ada kesenian yg masih asli tradisional, ada yg sudah mengalami pengembangan (kesenian kontemporer/modern).  Kalau kontemporer berarti sudah mengalami pengembangan.  Dengan demikian konteks perlindungannya masuk dalam UU Hak Cipta. Kalau tradisional (EBT/folklor), jelas, ada di pasal 10 UU Hak Cipta.  Pada pasal 10 UU Hak Cipta (ayat 1), dinyatakan sbb: Negara memegang Hak Cipta atas karya  peninggalan prasejarah, sejarah dan benda budaya nasional lainya.  Pada ayat 2 disebutkan: Negara memegang Hak Cipta atas folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama, seperti cerita, hikayat, dongeng, legenda, babad, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi, dan karya seni lainnya. Kemudian ayat 3: Untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaan tersebut pada ayat (2), orang yang bukan warga negara Indonesia harus terlebih dahulu mendapat izin dari instansi yang terkait dalam masalah tersebut. Ayat 4: Ketentuan lebih lanjut mengenai Hak Cipta yang dipegang oleh Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini, diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pemanfaatan oleh orang Indonesia untuk produk tersebut tidak perlu ijin. Untuk orang asing perlu ijin.  Instansi terkait yg bisa memberi ijin, hingga saat ini belum diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) untuk pelaksanaan pasal 10 ini. Kami minta saran ke WIPO (pak Candra Darusman) katanya jangan dibuat dulu (PP-nya). Karena belum ada komitmen/ketentuan secara internasional yang mengatur hal-hal seperti ini. Makanya PP-nya blm ada Tapi di dalam praktek sudah banyak. Kemudian kasus alm Nahum Situmorang, seorang pengarang lagu Batak. Kemudian ada orang yang mendaftarkan lagu alm Nahum.  Ada yang bilang lagu ybs masuk folklor.  Siapa bilang folklor? Kalo folklor kan tidak diketahui penciptanya.  Yang berhak untuk mendaftarkan tentu ahli warisnya.  Menjawab Pak Beni, kenapa hanya ditjen Haki yg terlibat dalam penyusunan RUU ini? Mengapa Diknas kenapa tidak terlibat? Terus terang, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tidak peduli pada perlindungan folklor ini, yang diurus hanya masalah pelestarian cagar budaya.  Sehingga Ditjen Haki menyusun RUU ini. Ternyata setelah itu banyak kritik/reaksi timbul. Kita terima, seperti apa revisinya? Kalau Bapak ada saran, akan saya sampaikan. Kita syukuri yg tidak ada menjadi ada. Soal ijin.  Ada Yayasan Guru Nahum Situmorang.  Lagunya diputar di mana-mana.  Yayasan dapat royalti dari itu.  Kalau karya pak Siagian saya gandakan, bapak pasti rugi kan? Intinya seni spt itu sudah ada pengembangan dari tradisional ke modern.  Persoalan Ditjen HAKI adalah bagaimana mensosialisasikan RUU ini kepada masyarakat.  Mengenai kritik Pak Agus soal ijin, saya setuju ijin tidak perlu kalo pemanfaatan oleh orang Indonesia di dalam negeri.  Kalo pake ijin, pasti ada peraturan yang aneh-aneh.  Saya pernah mau inventarisasi EBT di Sumbar.  Ternyata Dinas di sana belum memahami apa itu folklor.  Kami mau bilang apa? Kalau orang asing menggunakan EBT kita, perlu ijin.  Menanggapi usul Bapak ini (Pak Tisnaya), saya setuju.  Saya sendiri sudah tidak terlibat dalam penyusunan RUU ini.  Saya juga tidak setuju soal ijin (pemanfaatan EBT oleh orang Indonesia).  Ijin dari pemerintah aja susah apalagi dari masyarakat. Jadi karena terkait RUU ini masih banyak masalah makanya kita berdiskusi di sini. 
Menanggapi kasus Jepara. Yang berkembang di sini masalah HAKI.  Kalo pasal 9 dihapus dari RUU ini saya rasa diperbolehkan.  Untuk paten, si penemu tidak boleh badan hukum, harus individu.  Datanglah Bapak ke kantor kami supaya bisa kita bicarakan.  Kasus Jepara kan sudah diproses pengadilan. Sudah proses pengadilan niaga, sudah proses mahkamah agung, masih saja diprotes karena ada pihak yg tidak puas. Kapan selesainya? Pengalaman ini sangat berharga. Polisi sampai dituding.  Gara-gara kamu saya sampai dihukum penjara 2 tahun.  Dalam forum ini kita tidak perlu mencari siapa yg salah. Apapun kata polisi, apapun kata jaksa, kalo hakimnya jeli harusnya tersangka itu dibebaskan.  Jangan menganggap kantor kami sebagai dalang.  Pengambilan data katalog oleh si Piter dari internet apakah itu pelanggaran? Pemohon pengajuan hak cipta harus mempunyai domisili di Indonesia, bisa melalui konsultan di Indonesia. Paten Indonesia mungkin hanya 4%, sisanya paten dari orang luar.  Memang ada kejanggalan dalam RUU ini.  Seperti soal perizinan, saya setuju dengan Prof Agus.  Amanat UU kan hasil kebudayaan ini milik bersama, jadi tidak perlu ijin.  Tapi ketika saya sosialisasi RUU ini ke daerah (Pemda), pemda justru mengeluh.  Mereka menuntut perlu ada ijin dan dpt hak royalti dari pemanfaatan EBT daerah mereka. Kalo gt, perang lah kita ya? Padahal kita adalah NKRI yang berbhineka tunggal ika. Terima kasih Pak.

Pharma:
Tanggal 23 saya tunggu di Lombok ada temu folklor Indonesia.  Silahkan Prof Agus menanggapi.


Prof Agus:
Kita tidak menyalahkan RUU secara keseluruhan.  Ada hal yg bagus dari RUU ini spt pasal 3 poin c dan d.  Tp poin: “pemanfaatan EBT yang dapat menyinggung harkat”....dst...sebaiknya tidak dimasukkan. Banyak kemajuan yang dicapai RUU ini.  Tapi kalo td saya memberikan bbrp kritik, itu karena sy ingin RUU menjadi lebih baik. Tidak bermaksud utk menyalahkan, tapi agar hal-hal yg telah saya sampaikan td itu diakomodasi dalam penyusunan RUU ini.

Solo Sirait:
Sudah pasti itu Pak...

Prof Agus:
Saya jg heran pada waktu sosialisasi RUU ini di Hotel Maharaja,  kenapa sy tidak diundang? Waktu itu sy tlp pak Dirjen utk urusan lain.  Akhirnya beliau menyinggung masalah ini jg.  Tp sy nggak diundang kok.  Jd Dirjen jg tidak tahu kalo sy tidak diundang.  Itu posisi pribadi.  Tp sbg orang yg memiliki kepedulian pd masalah ini, sy berharap janganlah para penyusun RUU ini steril dari pendapat-pendapat dari luar. Alangkah baiknya kalau JKTI atau lembaga manapun yg ada disini bisa memberi masukan yang tujuannya untuk memperbaiki draft RUU ini.  Mumpung masih draft.  Hal-hal yang bisa berdampak negatif, harusnya dihapuskan.   Hal-hal yang harus dditambah, harus diakomodasi oleh tim penyusun RUU ini.  Terkait legal draft suatu RUU, ada satu metode yang dikemukakan oleh 2 orang pakar dari Boston University.  Mereka menyatakan bahwa ada cara untuk mengetes pembuatan produk UU yaitu ROPCCII.  R itu rule, artinya aturan dalam UU itu harus bisa diterapkan (managible).  O itu oppurtinity, semua warga negara mempunyai kesempatan yang sama untuk melaksanakan UU itu. P adalah proccess, jangan sendirian dong menyusun suatu UU, perlu tanya/libatkan banyak orang.   C adalah communication.  Komunikasikan RUU ini dengan pihak terkait.  C kedua adalah capacity perlu memperhitungkan kemampuan masyarakat untuk melaksanakan UU itu.  Contohnya soal perizinan.  Jangan membuat aturan yang akan berdampak negatif terhadap masyarakat. 
I yang pertama adalah interest: UU ini dibuat untuk kepentingan siapa? Kalo untuk kepentingan masyarakat, silahkan tanya masyarakat.  Kalau untuk kepentingan pemerintah, silahkan bikin sesuka pemerintah.  Ideology: harusnya menggunakan ideologi bangsa kita sendiri, jangan menggunakan ideologi bangsa asing.  Untuk sempurna mengikuti cara itu memang tidak mungkin.  Tapi paling tidak untuk hal-hal yg bisa dilakukan,  lakukanlah.  Jangan karena merasa si Agus ini beraliran kiri (leftish), ya kita tinggal aja...

Solo:
Jangan begitu bos...




Agus:
Kalo pikiran-pikiran tersebut ditinggal, ibaraatnya dalam bertinju, tidak ada sparring partner...Kalo tidak ada sparring partner, gimana bisa jago petinjunya? Yang terakhir, apabila niat kita adalah memberi kontribusi yang positif thd RUU ini maka ada baiknya
Diskusi kita jangan hanya berhenti di sini, harus ada tindaklanjut.  Bentuknya bisa berupa surat ke Ditjen Haki atau ke tim penyusun RUU.  Bisa disebutkan dalam pertemuan di Bogor muncul masalah-masalah terkait RUU. Hasil forum diskusi di Bogor ini bisa disampaikan ke Dirjen Haki.  Masih bisa diperbaiki/tidak? Saya kira sekian.  Terima kasih.

Pharma:
Ada 2 hal besar yg telah kita diskusikan yaitu proses dan substansi.  Saya lihat taksonomi EBT dalam RUU msh banyak yg salah.  EBT masih dilihat dengan kacamata kesenian tradisional dan modern.  Harapannya hasil diskusi ini bisa diserahkan ke Ditjen Haki dan komisi X DPR. Terima kasih.

Break makan siang....

Comments

Popular posts from this blog

Melacak Produk Organik Lokal di Kota Tarakan Kalimantan Utara

Mendukung Ekowista Komunitas di Indonesia

  Catatan Pertemuan JKTI Minggu, 06 Oktober 2024 18.30  - 20.00 WIB   Zoom : ·        https://us04web.zoom.us/j/72471666257?pwd=wzBZrKMjFXbaLE7waBA94d6Q37nkEs.1 ·        https://meet.google.com/vgi-qxbe-jfq   Peserta : 1.       Anton Waspo – Bogor 2.       Eddi Mangopo – Samarinda 3.       Rudi Redhani – Banjarbaru 4.       Ikhsan Mentong – Merauke 5.       Rasdi Wangsa – Samarinda   Point-Point Pertemuan :   Ø   JKTI akan mengembangkan Program Penguatan Kampung Ekowisata di berbagai lokasi di Indonesia Ø   Salah satu Strategi Program yang akan dilakukan adalah membentuk ‘Vocal Point’/ Penghubung di Kota Provinsi/Kabupaten Ø   Untuk sementara disepakati : Vocal Point untuk Kalimantan Timur : Edi Mangopo, Kalimantan Selatan : ...

FORUM ANGGOTA NASIONAL JKTI, BALIKPAPAN-KALTIM, 9 FEBRUARI 2025

Prosiding Forum Anggota Nasional Jaringan Kearifan Tradisional Indonesia (JKTI) Balikpapan, Minggu, 9 Februari 2025     Artwork CoWokring Space Jl. Jenderal Sudirman No.43 RT.07,  Klandasan Ilir, Kec. Balikpapan Kota,  Kota Balikpapan,  Kalimantan Timur  76113 NARASI SINGKAT Minggu, 9 Feb 2025, bertempat di ruang meeting ArtWork Co Working Space Jl. Jenderal Sudirman No.43 RT.07, Klandasan Ilir, Kec. Balikpapan Kota, Kota Balikpapan, Kalimantan Timur.  Pukul 09.00 WITA peserta offline sudah mulai berdatangan dimulai dengan Sarmiah dari Perkumpulan Padi. Menyusul kawan Rudi Redhany, Faisal Kairupan, Aida, Eka, dan Bu Rita dari ASITA Balikpapan serta Edi Mangopo dari Samarinda.  Pada sekitar pukul 10.00 WITA kegiatan FAN 2025 dimulai dengan dipandu oleh Faisal Kairupan sebagai pimpinan sidang sekaligus moderator forum ini.  Prosesnya dilakukan secara hybrid ; Offline dan Online. Dimulai dari Laporan Perkembangan JKTI (Rasdi Wangsa) dan selanjut...