CATATAN PROSES HARI KEDUA
Hari/tanggal :
Sabtu, 9 Agustus 2008
Waktu :
Pkl. 08.45 – 09.45 wib
Agenda : Khutbah Agung dan Laporan PJ Seknas JKTI oleh Kornas JKTI
Sdr. Rasdi Wangsa
Pemangku Sidang :
Aziz & Novi
Peserta :
Affan (Bima Lestari Sejahtera, Mojokerto), Aminuddin
(individu/Korwil Jatim Bali,
tinggal di Malang), Sabaruddin (KSPLH),
Nuzul Azmi (Patasarlinkara, Malang), Lalu Pharmanegara (Majelis Krame Adat
Sasak-Mataram), Supia Kusmina (Yayasan Dian Tama-Pontianak), Anton Waspo
(Elsppat/JKTI Jabar DKI), Dwie (Elsppat/Panitia), Anas (WWF Indonesia,
Putusibau, Kalbar), Didit Endro S. (Yayasan Celcius-Jepara).
Notulen :
Daniel (Elsppat)
Aziz:
Sebagai pemangku sidang, saya
menyatakan sidang dibuka. Ada teman yg baru datang, silahkan mas yg baru datang
memperkenalkan diri.
Anas:
Nama saya Anas dari Kapuas Hulu,
saya dari WWF Kalbar, bagian pengembangan masyarakat. Program kami PO, pengembangan kearifan
tradisional, pengelolaaan hutan oleh komunitas, pengembangan produk kerajinan.
Bergabung dengan WWF sejak tahun 2000.
Aziz:
Silahkan kawan yg berikut perkenalkan diri.
Didit:
Nama saya Didit Indra S. dari Celcius Jepara.
Aziz:
Kita beranjak ke acara
selanjutnya. Kita akan mulai dengan
Khutbah Agung, kemudian pembacaan laporan, setelah itu ada diskusi dengan
narasumber, kemudian pembahasan aturan adat.
Malam kalo memungkin, kita lanjutkan
Rasdi:
Sebelum lanjut, mungkin pemangku
sidang bisa mengupdate perkembangan komunikasi dengan teman-teman yg tidak
hadir secara fisik.
Novi:
Yang aktif hanya Udur dari
Kalsel. Ini info dari udur, saya bacakan
(email). Usul Udur: setiap akhir sesi
selain notulensi, dibuatkan pointers penting hasil pertemuan. Dari keaktifan,
ada jg dari PPLH Seloliman (HP online), tp tidak ada info.
Aziz:
Sebelum masuk Khutbah Agung, ada tanggapan?
Rasdi:
Kita diskusi dengan nara sumber jam 10. Pengaturannya
seperti apa?
Pharma:
Selesai Khutbah Agung kita lihat waktunya....
Aziz:
Ada waktu sekitar 1 jam. Gimana kalo kita Khutbah Agung dulu. Jadi
LPJ kita mundurkan setelah diskusi dengan narasumber.
Rasdi:
Silahkan pemangku sidang meminta pendapat dari forum
karena ini bukan forum
Aziz:
Apa sepakat kita khutbah agung dulu?
Anas:
Bisa, tapi lebih banyak dialognya.
Aziz:
Kita sepakat dengan khutbah agung dulu. Silahkan bapak
Rasdi.
Rasdi:
Usul saya sebelum jam10 kita break
dulu untuk persiapan diskusi dengan pihak luar.
Saya kira Khutbah Agung bisa
digabung dengan Laporan Seknas JKTI.
Aziz:
Mas Rasdi menginginkan LPJ digabung dengan Khutbah
Agung...
Waspo:
Kita dengarkan dulu alasan Pak Rasdi mengapa perlu
persiapan diskusi narasumber...
Aziz:
Ada usul lain? Kita lanjut dengan presentasi Pak Rasdi.
Presentasi
Khutbah Agung Kornas JKTI (Rasdi Wangsa):
Rasdi:
Dalam FAN kali ini, selain
anggota, kami juga mengundang beberapa lembaga yang menjadi calon anggota
JKTI. Mengacu pd aturan adat, mekanisme
penerimaan anggota tidak dijelaskan secara eksplisit tapi dalam konteks
membangun gerakan JKTI yang lebih luas, ketika saya bertemu dengan lembaga
ataupun individu yang menurut saya satu visi-misi dengan JKTI, saya selalu
mengajak lembaga/individu tersebut untuk secara bersama menarik gerbong JKTI
walaupun ada forum penetapan anggota secara formal. Misalnya saat ini Bapak Lalu yang aktif
mendorong kampanye kearifan tradisional, termasuk yang hadir di sini Bapak dari
Yayasan Celcius Jepara. Kenapa kami
undang karena kami juga aktif mengadvokasi kasus Jepara yaitu kasus pencurian
folklore/pemanfaatan folklor komunitas tradisi Jepara oleh pihak lain.
Hal pertama yang mau saya
sampaikan terkait pemahaman terhadap Kearifan Tradisional di JKTI. Sejak berdiri tahun 1999, JKTI mengambil
istilah Kearifan Tradisional (KT). Kami
selalu berdiskusi untuk memahami apa itu kearifan tradisional. Pemahaman KT akan terus berkembang. Karena Kearifan Tradisional yang kita
perjuangkan itu sesuatu yg dinamis, tidak statis spt stigma yang diberikan
pihak luar bahwa komunitas tradisi dan aturan adatnya itu statik dalam arti
anti terhadap perubahan atau anti thd sesuatu dari luar. KT dalam konteks
JKTI tidak anti terhadap perubahan,
terbuka dengan sesuatu yg baru. Sesuatu
yang baru ini perlu dilihat dampaknya dulu terhadap kita. Salah satu
aplikasinya kita menggunakan teknologi internet dalam FAN kali ini. KT adalah
sesuatu yang dinamis.
Yang kedua, terkait posisi JKTI di
level nasional. Selama ini JKTI dipahami sebagai jaringan yg bergerak pada isu
pengetahuan tradisional, termasuk akhir-akhir ini JKTI banyak terlibat dalam
diskusi RUU Perlindungan dan Pemanfaatan Pengetahuan Tradisional.
Poin penting posisi JKTI menurut
saya yang sering tidak dipahami adalah bahwa pengetahuan tradisional saat ini
telah dicabut dari akarnya dalam sistem komunitas atau sistem tradisi. Misalnya soal pengetahuan tradisional tentang
pewarna alami. Sering kali tidak dilihat
dalam konteks yang lebih luas sebagai satu kesatuan dari sistem budaya/tradisi
di komunitas. Untuk mengambil sesuatu bahan dari suatu pohon itu ada cara
tertentu yang mempunyai nilai-nilai di dalamnya. Saat ini yang dilihat hanya aspek komersial.
Dalam konteks hak cipta, hak paten, hanya dilihat pengetahuannya saja. Situasi sosial budaya komunitas tradisi
sering tidak dilihat. Dalam konteks
kebijakan nasional dan internasional, seperti itu yang berkembang. Pada level internasional, misalnya pada
kongres di WIPO, negara-negara maju selalu menolak perlindungan terhadap
pengetahuan tradisional. Mereka selalu
bertanya bagaimana bentuk perlindungannya?
Kemudian siapa penemunya? Misalnya pengetahuan tentang pasak bumi yang
tersebar dari Sumatera, Kalimantan sampai Serawak. Bagaimana jika ada konflik
antar suku terkait PT tentang pasak bumi?
Ini menjadi PR kita.
Mengacu ke RUU Pengetahuan Tradisional, soal resolusi konflik antar
komunitas tradisi, masih belum jelas.
Merujuk ke RUU yang sekarang, kalo konflik antar desa yang menengahi
kecamatan, kalo antar kecamatan yang menengahi kabupaten dst. Sebagai pendamping komunitas tradisi, kita
perlu merumuskan seperti apa model penyelesaian konflik antar komunitas. Karena MNC/TNC menggunakan strategi
membenturkan komunitas yang berbeda untuk mengambil keuntungan dari konflik
antar komunitas tradisi tsb.
Bagaimana menghadapi ini akan
menjadi PR kita baik di forum nasional maupun internasional. Dalam forum WIPO misalnya negara-negara berkembang diberi
10 daftar pertanyaan. Misalnya apa
definisi PT? Bagaimana pembagian manfaat PT?
Hingga saat ini belum ada rumusan yg jelas tentang
PT. Ke-10 pertanyaan itu sudah saya
sebar ke teman-teman tapi kita belum sampai pada titik rumusan jawabannya.
Harapan saya di forum ini 10 pertanyaan itu bisa kita bahas secara mendalam
karena akan menjadi titik penting bagi kita untuk bergerak untuk mewujudkan
visi-misi kita. Saya kira sekian dulu,
bisa kita lanjut dengan diskusi mendalam.
Aziz:
Demikian presentasi dari Pak Rasdi
mengenai arah JKTI. Saya
tawarkan ke teman-teman, masih ada 15 menit.
Bagaimana teman-teman?
Rasdi:
Selama 1999-2008 memang saya
sebagai Kornas JKTI. Tapi saya kira
peran semua anggota JKTI pada berbagai level -sekecil apapun- harus kita hitung
karena inilah yang akan membesarkan gerakan JKTI ke depan. Di jaringan lain, yang melemahkan adalah
seringkali peran-peran kecil anggota jaringan tidak dihitung. Dalam LPJ saya sudah mencantumkan peran
teman-teman anggota dalm mensupport gerakan JKTI. Misalnya ketika saya tidak punya tiket
pulang, saya minta ke teman-teman anggota.
JKTI tidak mungkin berjalan jika tidak ada peran teman-teman anggota.
Anas:
Bagus kalau kita berangkat dari
pengalaman untuk mengeksplorasi lebih jauh Khutbah Agung bapak Rasdi.
Aziz
Apakah kita mau diskusi untuk eksplorasi?
Pharma:
Setuju diskusi
Aziz:
Mulai dari siapa?
Pharma:
Kearifan tradisi adalah suatu
artefak. Apa masih begitu? Sebagai artefak masih ada sesuatu yang bekerja,
masih ada gelora di berbagai tempat.
Kearifan tradisi juga merupakan semiologi. Bentuk, ragam, pola kearifan tradisi masih
diraba-raba. Selain itu, ada perbedaan
skala kearifan tradisi di masing-masing lokal.
Misalnya di Lombok kearifan tradisi dibagi atas: filsafat, pengobatan,
ragam hias ritual. WIPO juga punya cara
pembagian kearifan tradisi. Kearifan tradisi di berbagai tempat akan menjadi
dahsyat ketika dilihat sebagai artefak. Menarik juga dicermati
perkembangan pola ragam hias di Jepara, Pekalongan, Dayak, dll. Saya tertarik soal ragam hias. Misalnya ragam hias bunga.
Bunga menunjukkan karakter kelembutan.
Kalau di Lombok banyak digunakan ragam hias bunga Mandalika
(Dewi Cinta). Pharma menjelaskan cerita Dewi Mandalika. Menurut saya kajian ragam
hias bisa lebih mendalam. Kearifan
tradisi dahsyat karena bisa menyelesaikan banyak persoalan. Kita sering mengacu pada pakar di luar negeri
yang sebetulnya tidak paham dengan pengetahuan tradisi. Padahal, pengalaman
kita sebetulnya sangat kaya untuk menyelesaikan berbagai permasalahan
kita. Misalnya kita pusing mencari mc D
di kota sendiri. Karena kita
hanya ikut-ikutan. Akibatnya kelelahan
sendiri dan tersesat.
Aziz:
Ada yang lain?
Anas:
Yang pertama, pernyataan Rasdi
memang benar bahwa kita sering terjebak pada produk. Kita sering ditantang oleh komunitas: manfaat
yang bisa kami dapat apa? Walaupun
mereka sudah tahu. Sebetulnya manfaat
itu sudah ada di tingkat komunitas. Hal
ini karena pengaruh pola hidup saat ini yang konsumtif. Ini merupakan tantangan bagi kita.
Yang kedua, pentingnya bukti
dokumentasi ketika kita menginginkan ada pengakuan terhadap kearifan
tradisi. Misalnya untuk menjawab: apa
bukti bahwa pengetahuan tradisi itu memang milik komunitas? Kita sering kesulitan
karena tidak ada dokumentasi.
Yang terakhir: ada musuh komunitas
seperti kebijakan yang sering tidak mengakui berbagai aset komunitas. Terjadi perebutan lahan antara pemerintah,
perusahaan dan komunitas. Dari
pengalaman lapangan, isu kearifan tradisi
sangat memberatkan.
Aziz:
Karena waktu sudah lewat, apa kita lanjut? Ok silahkan
satu lagi..
Didit:
Perlu ada revolusi budaya di
Indonesia agar kearifan tradisional tidak terlupakan begitu saja. Saat ini banyak pejabat yang menciptakan
banyak budaya baru yang membuat masyarakat meninggalkan budayanya sendiri. JKTI bisa melakukan sosialisasi tentang
kearifan tradisional (pemanfaatan dan pelestariannya) di komunitas. Contoh kasus, mengenai kerajinan ukir Jepara
di kampung saya. Memang masyarakat pengrajin sering terjebak pada produk. Soal
historisnya sering tidak didipahami masyarakat. Pejabat juga cuma mengakui
produk kearifan tradisi saja. Jadi intinya perlu revolusi budaya dan
sosialisasi kearifan tradisi ke komunitas.
Aziz:
Karena waktu habis, diskusi kita break dulu. Nanti kita bisa kita lanjutkan setelah
diskusi dengan narasumber.
Break...
Comments
Post a Comment