Lampiran 4. Siaran Pers
JKTI
Mencermati Posisi Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi
Budaya Tradisional
FORUM ANGGOTA NASIONAL 2008
Jaringan Kearifan Tradisional Indonesia
Perumahan Cimanggu Permai I
Jl. Kalasan Blok N 1 No 15 Bogor 16710
Kontak Person : Rasdi Wangsa 081314980368
“Negara melindungi segenap tumpah darah Indonesia, dan
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa. Draf rencana undang-undang
Perlindungan Pemanfaatan Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya
Tradisional belum secara menyeluruh memperlihatkan semangat ini” demikian Prof
Agus Sardjono dalam kesempatan diskusi terbuka di Forum Anggota Nasional JKTI
di Bogor sabtu 9 Agustus 2008. “ Secara
menyeluruh,” Prof Agus yang sehari-hari mengajar di FH UI ini menambahkan bahwa
, “ draft ini hanya mengakomodasi hal – hal pemanfaatan dan perlindungan tetapi
belum mengakomodasi aspek pengembangan
dan pelestarian.”
Prof. Agus Sardjono merupakan satu dari sedikit ahli Hak Kekayaan
Intelektual di Indonesia yang masih tekun mencermati keberadaan pengetahuan
tradisional. Selain itu dalam diskusi ini dihadirkan juga Bpk. Silo Sirait dari
Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Departemen Hukum dan HAM. Keduanya
dihadirkan untuk mendiskusikan posisi pengetahuan tradisional dan ekspresi
budaya di Indonesia.
Persoalan perlindungan bagi pengetahuan tradisional menjadi mengemuka bila
ditilik dari beberapa kasus mutakhir yang terkait dengan perdagangan. Keberadaan draft rencana UU Perlindungan
Pemanfaatan Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional (PPPT dan
EBT) tidak terlepas dari situasi terkini. Beberapa saat yang lalu Indonesia dihebohkan
oleh kasus Reog Ponorogo yang diklaim
milik Malaysia. Atau kasus di Indonesia, sebagaimana disampaikan oleh Didid
Endro dari CELCIUS Jepara, banyak perajin ukir yang takut memperoduksi jenis
tertentu karena sudah tercantum dalam katalog yang didaftarkan hak ciptanya
oleh WN Inggris. Padahal desain ukiran
tersebut sudah berpuluh-puluh tahun dikerjakan oleh perajin di Jepara.
Desain Ukir Jepara, Batik Solo atau Yogya dan juga Reog Ponorogo termasuk
kategori Ekspresi Budaya Tradisional, yaitu suatu karya intelektual dalam
bidang seni yang mengandung unsur karakteristik warisan tradisional yang
dihasilkan, dikembangkan dan dipelihara oleh komunitas atau masyarakat tertentu.
Sementara di dalam negeri sendiri bukannya tanpa
masalah. Bahkan Bpk. Silo Sirait sendiri mengakui bahwa masih ada kelemahan di
Dirjen HKI. Misalnya beliau menggambarkan proses-proses pendaftaran ekpresi
budaya tradisonal yang belum sepenuhnya dipahami oleh staf teknis. Padahal
sangat mungkin kerancuan dalam memahami perlindungan ekspresi budaya
tradisional justru menimbulkan potensi saling bermusuhan antar komunitas
pemilik budaya. Rizaldi siagiaan ( seniman musik), yang popular dengan
pagelaran music megalitikum quantum, cukup gerah melihat pengaturan dalam draft
RUU. Ia mempertanyakan tentang permintaan ijin untuk pemanfaatan ekspresi
budaya. “ Saya memang orang batak, mementaskan music gondang batak tetapi
kepada siapa saya harus minta ijin?”.
Persoalan-persoalan seperti inilah yang belum dapat diselesaikan lewat
draft RUU ini.
Persoalan lebih penting justru bagaimana melindungi
pemanfaatan komersial oleh pihak asing. Posisi dasarnya tentu kembali ke
semangat konsitusi Negara, adalah kewajiban Negara untuk
melakukan langkah-langkah konkrit melindungi hak-hak warga bangsanya yang
dimanfaatkan di luar negeri secara melawan hak, baik melalui gugatan perdata
atau melakukan pendekatan diplomatik terhadap Pemerintah Negara di mana misappropiation
terjadi. Hal ini yang nampaknya belum banyak dimunculkan dalam draft RUU
ini. Padahal roh konstitusi UUD’45
adalah Negara melindungi segenap tumpah darah Indonesia, memajukan
kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa”. Harus ada mekanisme perlindungan
untuk mencegah dan menanggulangi pemanfaatan PT & EBT di luar negeri secara
melawan hak di dalam RUU ini.
Dan hal ini yang menjadi salah
satu alasan dari Negara-negara maju pada
berbagai perundingan internasional, termasuk di WIPO (World Intellectual
Property Organization) yang bermarkas di
Genewa. Negara-negara tersebut
menyatakan bahwa “bagaimana kita akan mengatur aturan internasional kalau
aturan nasional di masing-masing Negara
belum ada”. Oleh karenanya, point
perlindungan pengetahuan tradisional dari komersialisasi pihak asing menjadi
sesuatu yang penting dimasukan didalam pasal-pasal RUU ini, ungkap Rasdi Wangsa
dari
JKTI.
<Waspo-JKTI>
___________
*Jaringan Kearifan Tradisional Indonesia adalah
jaringan dari 58 lembaga dan
individu di Indonesia yang mengusung
semangat untuk melestarikan dan memperkuat kearifan tradisional di Indonesia.
*Forum Anggota Nasional JKTI adalah forum
tertinggi dalam organisasi untuk merumuskan isu strategis dan memilih
mandataris untuk periode 2008 -2011
Comments
Post a Comment